Banyak PR yang harus diselesaikan di negeri ini terutama sistem pendidikan yang dewasa ini seperti pialang lapangan kerja, kemudian sistem numerik yang masih menjadi tolok ukur suksesnya seorang siswa, oleh karenanya ketika seorang siswa tuntas di dunia pendidikan maka canggung dan merasa tidak siap menghadapi realitas sosial yang sebelumnya tidak diajarkan di bangku sekolah, termasuk humanisme, filantropi dan lain sebagainya yang berkaitan dengan konteks kehidupan masyarakat maka dalam hal ini pendidikan karakter yang lebih diunggulkan seharusnya, meski sistem numerik juga penting. Kemudian sektor lowongan kerja yang sampai saat ini masih menjadi titik perhatian (common denominator) masyarakat disusul oleh membengkaknya tingkat pengangguran serta kemiskinan yang akut dan yang terakhir adalah kebijakan pemerintah dalam rangka memajukan ekonomi yang sering kontra dengan masyarakat seperti menekan harga bahan bakar minyak (bbm) bersubsidi yang notabene termasuk kebutuhan yang vital dalam menjalani aktifitas, kemudian yang dirasakan masyarakat adalah efek dominonya yang berpengaruh kepada bahan-bahan pokok lainnnya meski kompensasinya di salurkan kepada rakyat.
Kendatipun demikian semua itu bukan pra syarat yang absolut bagi suksesnya menata sistem social yang maju, ada banyak instrument serta epistimologi yang lebih ampuh untuk sampai pada satu mainstream, dibutuhkan bahu-membahu untuk bergerak bersama, membangun kesadaran kolektif, bersikap inklusif serta toleransi yang tinggi demi terciptanya kebersamaan (gemeinschaft) yang harmoni sebagai masyarakat yang madani.
Catatan:
[1] Komaruddin Hidayat, Memaknai Jejak-jejak Kehidupan, hal. 14
[2] Berasal dari bahasa Yunani yaitu demos (rakyat) dan kretia (pemerintah), apabila digabung menjadi pemerintahan rakyat yakni mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat.
[3] Luthfi.J. Kurniawan & Hesti Puspitosari, Negara, Civil Society & Demokratisasi, hal. 22
[4] Ensiklopedi Islam. – Cet. 4 – Jakarta : Ichrtiar Baru Van Hoeve, 1997, jilid 3, hal. 103
[5] Pendiri Madzab Kepanjen
[6] Ach. Dhofir Zuhry, As-Sirah al-Falsafiyyah Jilid II, hal. 211
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H