Draf Rancangan Undang-undang tentang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang perkawinan yang masuk dalam draf Program legilasi Nasional (Prolegnas) 2010. telah memperoleh respon beragam dari masyarakat, baik yang pro maupun yang kontra.
Dalam RUU tersebut menyatakan bahwa pelaku nikah siri, mut'ah dan poligami dapat dijerat dengan hukum pidana.
Lepas dari persoalan pro dan kontra, perkawinan adalah merupakan Hak Asasi Manusia, pembatasan atau mempersulit pelaksanaan perkawinan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, apalagi Agama Islam tidak mengharamkan pernikahan siri, karena pernikahan siri untuk menghindarkan jinah.
Pelarangan identik dengan mengharamkan dengan demikian negara telah memasuki ranah agama atau dengan kata lain, negara telah mengintervensi agama dan/atau negara telah mengintervensi wilayah privasi warganegaranya, atau negara telah menentang hukum Allah, demikianlah bagi yang setuju pernikahan siri, Mut'ah dan Poligami.
Sedangkan yang tidak setuju nikah siri atau para pendukung RUU tersebut, mempunyai alasan karena pernikahan siri bukan saja pihak wanita yang dirugikan tetapi anak-anak hasil dari perkawinan itupun dapat dirugikan jika pihak Prinya tidak bertanggung jawab, karena anak-anak hasil perkawinan siri tidak memperoleh hak waris khususnya dari Ayahnya, sedangkan dalam pernikahan siri tidak ada harta gono gini.
Draf RUU itu perlu dikaji lebih cermat khususnya pasal 143 bahwa pelaku yang melangsungkan pernikahan tidak dihadapan pejabat pencatat nikah akan didenda sebesar-sebesarnya Rp. 6 jt atau kurungan paling lama 6 bulan, sedangkan pasal 147 menyatakan bahwa barang siapa yang menghamili perempuan yang belum nikah dan menolak mengawininya akan dipidana paling lama 3 bulan. Pasal 146 menyatakan bahwa pelaku poligami tanpa ijin pengadilan dan mereka yang menceraikan istri tidak didepan pengadilan akan didenda sebanyak-banyaknya Rp. 6 jt atau hukuman paling lama 6 bulan.
Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut sungguh sangat ironi, mereka yang secara moral bertanggung jawab dihukum beratnya melebihi mereka yang moralnya tidak bertanggung jawab setelah menggaulinya.
Bagaimana dengan jajan adalah cara termudah dan aman untuk memenuhi hasrat kebutuhan biologis terutama dari kalangan pria, demikian juga bagi kalangan wanita cuman kaum satu ini kebayakan secara tertutup, malu-malu tapi mau dan bebas memilih pasangannya masing-masing, tanpa rasa cemburu sebagaimana layaknya hubungan manusia dalam ikatan suami istri.
Persoalan agama whoooo !!!!!!, nomor terakhir itupun kalau masih ingat, disaat itulah manusia sudah kehilangan imanNya, demikian juga dengan berbagai penyakit yang mungkin diidap oleh pasangannya no reken !!!!!!!.
Sakit oooh !!!!!!!, banyak dokter, apa gunanya dokter kalau tidak mengobati orang sakit, demikian juga dengan resiko keuangan belanja nyaris tidak ada resiko memberi uang belanja kecuali uang ketika transaksi terjadi sebelum atau sesudahnya, ada uang jajan kalau tidak punya uang yaaaa !!!!! berhenti dulu beres khaaaan !!!!!!, kurang lebih demikianlah pendapat-pendapat mereka yang suka jajan.
Sedangkan kumpulkebo, hidup sebagai suami istri tanpa ikatan perkawinan, baik berdasarkan agama maupun pengakuan Pemerintah dan mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat masyarakat, semua ikatan kumpulkebo sudah mengabaikan nilai-nilai demikian itu.
Pasangan kumpulkebo ada sedikit perbedaan dengan pasangan nikah siri, pasangan nikah siri masih mentaati nilai-nilai agamanya meskipun hukum negara tidak mengakuinya.
Kalau pasangan jajan bebas memilih pasangannya disaat ingin melepaskan kebutuhan biologisnya, sedangkan pasangan kumpulkebo pasangannya lebih spesifik atau khusus dan ada rasa cemburu di hati masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H