Mohon tunggu...
D. Prasetyo Dwi Putranto
D. Prasetyo Dwi Putranto Mohon Tunggu... Lainnya - Sisya yang sedang menempuh ruang pencarian ke-Jawa-annya

Edukator Sumbu Filosofis Yogyakarta || Guiding || Penulis Lahir 05 Oktober 1997, di Kota Yogyakarta dengan penuh kesederhanaan dan berkecukupan. Tumbuh dan kembangnya berdampingan dengan tumpukan buku-buku lawas sastra dan sejarah membawa penulis terjerumus dalam guratan-guratan tinta hitam di atas kertas putih. Memiliki ketertarikan pada ilmu Sastra Jawa dan tradisi budaya, menjadikan penulis seringkali blusukan untuk mempelajari hal-hal baru yang berkaitan dengan ritus, klenik, dan makam.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Percakapan Imajinatif

21 Maret 2020   22:40 Diperbarui: 21 Maret 2020   22:54 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi seorang "penulis lepas", saya rasa pastinya setiap individu pernah memiliki angan-angan demikian, termasuk saya. Namun tak urung angan-angan tersebut hanya sebatas 'awang-awang' semata saja, manakala untuk menulis satu kalimat pembuka saja kita merasa kebingungan, termasuk saya (lagi).

Kesulitan terbesar bagi saya sejauh ini adalah menghendaki 'output', bagaimana saya harus menyampaikan setiap informasi yang saya miliki kepada lawan tutur saya.

Baiklah, berikut ini adalah tulisan dari seorang maha-guru bagi saya pribadi, seorang Pria berusia 66 tahun yang hingga kini masih terus belajar dalam menulis.

Apa yang saya cuplik secara keseluruhan dibawah ini sama sekali tidak ada perubahan didalamnya, agar saya dan pembaca pun mampu belajar dalam merangkai kata-kata sebagaimana beliau menggoreskan tinta diatas kertas putihnya.

--------------------------------------------

Pada satu pagi yang cerah di sebuah taman kota berjumpa dua orang filsuf kenamaan. Ini pertemuan yang sudah lama sengaja mereka janjikan. Tampak sejak tadi Jean Paul Sartre duduk di bangku taman menanti kedatangan Tuan Nietzsche sahabatnya itu. Begitulah Sartre selalu menyebut nama Tuan kepada Nietzsche untuk menunjukkan rasa hormatnya.

Nietzsche :" Selamat Pagi Monsieur "!  Nietzsche mulai membuka percakapan.

Sartre: "Selamat Pagi Tuan"  Jawab Sartre.  Tanpa buang waktu, segera saja Nietzsche mengajak   Sartre masuk kedalam perdebatan yang memang sudah lama ia persiapkan. 

Nietzsche : Monsieur ! "Tahukah anda tentang kematian Tuhan?".  Pada kali ini Nietzsche ingin menampakkan kehebatan, bahwa ia telah berhasil membunuh Tuhan. Kuat sekali keinginannya untuk mendengar tanggapan Sartre tentang itu.  Nietzsche melanjutkan.

Nietzsche : "Ketahuilah Monsieur, aku telah membunuh Tuhan!". Menurut anda bukankan itu satu perestasi tanda kehebatan ku ? Jika anda sungguh sungguh seorang eksistensialist sejati. Lalu pikiran besar apa yang sudah anda buat ? Sartre mendengar pertanyaan Nietzsche yang seolah ingin merendahkan dirinya. Ia merenung sejenak dan membalas sambil tersenyum tipis.   

Sartre : "Alangkah bodohnya Tuan ini". Sebetulnya apa yang sudah Tuan perbuat tidak ada arti apa-apa buat saya.

Nietzsche : Apa maksud Monsieur ? Bukankankan dengan kematian Tuhan, nasib kita ada  di tangan kita ?   

Sartre :  "Sungguh aneh !". "Tuan bicara soal apa?".  "Soal Nasib?"

Nietzsche : "Ya. Tentu soal Nasib, Monsieur !"

Sartre : Ketahuilah Tuan. "Anda telah berbuat sia-sia saja".  Membunuh sesuatu yang tak pernah ada.

Nietzsche : Mengapa Monsieur berkata begitu ?

Sartre : Karena saya tahu. Sesungguhnya Tuan ini orang kecewa! Tuan pernah berlari ke puncak bukit kefrustrasian Tuan sendiri. Karena menyaksikan kematian Kakak Perempuan dan Bapak Tuan. Lalu menyumpah Tuhan karena tak mampu menyelamatkan orang yang Tuan cintai. Di puncak  itu Tuan berteriak "Tuhan telah mati!", "Tuhan telah mati !".  Setelah itu bukankah juga Tuan pernah menghuni Rumah Sakit Jiwa ? 

Nietzsche : Monsieur! Keterangan anda telah mengorek kedalaman masa lalu saya. Itu sangat personlijk, Monsieur ! Kalau saya mau sekarang inipun saya bisa membalas. Saya tahu bagaimana kehidupan masa lalu anda!  

Sartre : Baiklah Tuan Nietzsche! Saya pikir, pasti Tuan setuju jika percakapan ini kita bawa tentang: manusia - hidup, lalu - kematian. Ketahuilah oleh anda. Saya ini seorang manusia bebas. Adapun nanti jika setelah saya mati. Buat saya tidak akan ada lagi apa apa. Semua akan selesai begitu saja! "Tidak ada sedikitpun nanti urusan saya dan Tuhan!". Buat saya Tuhan hanya ciptaan dari imajinasi manusia belaka." Tuhan itu sesuatu yang tak pernah ada". SedangkanTuan - mengapa Tuan berusaha membunuh Tuhan? "Alangkah bodohnya itu", sekali lagi Sartre mengolok Nietzsche. Itulah kenyataan perbedaan pikiran di antara kita Tuan !

Mendengar penilaian Sartre sepert itu. Nietzsche  agak terdiam. Tampak rambut dan raut wajahnya lusuh masai, apalagi dengan kumisnya yang dibiarkan tumbuh tak terurus. Ditundukkan sedikit kepalanya kebawah, diam-diam ia membenarkan ucapan sahabatnya itu.

Nietzsche : Monsieur ! Anda benar, kita betul berbeda !  Memang sekarang kita sudah menjalani hidup masa tua. Tetapi sedikit banyak saya juga tahu masa muda anda pada waktu lalu. Anda parlente Monsieur !  Banyak orang menyebut anda Casanova, penuh gadis-gadis, begitupun hidup anda bersama Simone.

Sartre : Sudahlah Tuan! Hari ini kita tak perlu dengar Heidegger, yang memandang waktu dilewati manusia hanya berisi kegagalan dan penyesalan. Tuan, saya tak banyak waktu lagi di tempat ini berbincang dengan Tuan. Karena banyak perubahan ke depan yang mesti saya hadapi. Dan tak salah kalau saya harus membaca ulang lagi Camus: "la Peste".     

Nietzsche : Siap Monsieur ! Kita berpisah dari sini - berjauhan, sambil melihat-lihat  - kemungkinan dan kemampuan.

Sartre : Rupanya bayangan Heidegger masih terus mengikuti kemana saja Tuan pergi !

-----------

Catatan:

 Albert Camus, filsuf Prancis.

Casanova: play boy, hidung belang

Martin Heidegger, filsuf Jerman.

Jean-Paul Sartre : filsuf Prancis.

la Peste : penyakit Pest, kusta atau sampar.

Monsieur (Prancis): sebutan pengganti untuk kata Tuan.

Friedrich Wilhelm Nietzsche, filsuf Jerman.

Personlijk (Belanda): diri pribadi

Parlente (Istilah umum Indonesia): berpenampilan rapih bersolek, berias.

Simone : Simone de Beauvoir, wanita filsuf Prancis.

Yogyakarta, 21 Maret 2020.

Mariadi

                      

                      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun