Mohon tunggu...
Djasli Djosan
Djasli Djosan Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mantan redaktur dan reporter RRI, anggota Dewan Redaksi majalah Harmonis di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Untuk Apa Istilah Asing Itu

28 Oktober 2022   13:59 Diperbarui: 28 Oktober 2022   14:05 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 28 Oktober 2022, tepat 94 tahun usia Sumpah Pemuda. Dua butir pertama yaitu Berbangsa Satu dan Bertanahair Satu, sudah tidak masalah lagi. Orang Jawa bebas memilih mukim di luar Jawa. Begitu pula orang luar Jawa bebas mukim di Jawa. Kita juga sudah menjadi bangsa yang satu sekalipun berbeda-beda sukunya. Menjadi orang Indonesia itu sangat terasa ketika berada di luar negeri. Bertemu seorang Indonesia yang belum kita kenal, senangnya bukan main. Ada rasa senasib sepenanggungan. 

Yang masih menjadi masalah adalah penggunaan Bahasa Indonesia yang menjadi bahasa resmi di pemerintahan, lembaga-lembaga negara, dunia pendidikan dan kegiatan-legiatan resmi lainnya. Bahasa daerah baru digunakan jika bertemu orang sedaerah dan di pasar-pasar yang mayoritasnya dikunjungi masyarakat setempat. Tahun 1987 ketika penulis berada di Bandung, hendak membeli soto di pasar, tukang soto menyapa dalam bahasa Sunda. Setelah tahu bahwa penulis adalah pendatang, barulah tukang soto berbahasa Indonesia.

Yang membuat risau adalah kegemaran sebagian masyarakat kita menyelipkan istilah asing dalam pembicaraan mereka, misalnya sebagai pembawa acara dan nara sumber TV. Banyak sekali istilah asing yang mencuat, padahal ada bahasa indonesianya. Contohnya, kata 'menggali' diganti dengan 'mengexplore', 'sadar' diganti dengan 'aware',  'disebut' diganti dengan'dimention' dan banyak lagi. Tampaknya yang gemar menyelipkan istilah-istilah asing itu ingin menunjukkan bahwa dirinya seorang terpelajar. Padahal tanpa disadari telah merusak keberadaan Bahasa Indonesia. 

Contohlah Bung Hatta ketika menjadi Ketua Delegasi Indonesia dalam KMB di Den Haag, Negeri Belanda. Dalam perdebatan langsung, beliau menggunakan Bahasa Belanda, karena beliau memang mahir berbahasa Belanda. Tapi ketika menyampaikan pernyataan resmi pemerintaah RI beliau menggunakan Bahasa Indonesia. Jadi kalau Anda memang jago berbahasa asing, gunakanlah bahasa itu sepenuhnya seperti yang dilakukan Desy Anwar ketika mewawancarai nara sumber asing di TV. Jangan sepotong-sepotong yang hanya mencederai Bahasa Indonesia.

Mari laksanakan butir ketiga Sumpah Pemuda, yaitu 'Menjunjung  Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia' dengan baik dan benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun