Mohon tunggu...
Djasli Djosan
Djasli Djosan Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mantan redaktur dan reporter RRI, anggota Dewan Redaksi majalah Harmonis di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pidato

16 April 2016   18:54 Diperbarui: 16 April 2016   18:54 3
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pidato adalah kegiatan seseorang menjelaskan pendiriannya secara resmi di hadapan khalayak tertentu. Misalnya sambutan tuan rumah dalam suatu pertemuan internasional. Selain mengucapkan selamat datang kepada para tamu, tuan rumah juga mengungkap arti penting pertemuan. Materi pidato bermacam-macam, tergantung sifat pertemuan itu sendiri.

Gaya berpidato juga tergantung kepribadian seseorang. Orang yang senang guyon, biasanya memilih kata-kata membuat orang tertawa senang. Ada juga yang datar saja, membuat khalayak yang dihadapinya mengantuk.
Dimasa silam, ada pidato yang diucakan dengan berapi-api untuk membangkitkan semangat khalayak. Model ini biasanya dilakukan tokoh-tokoh besar untuk mengajak bangsanya menyadari keberadaan dirinya. Ingat ucapan Bung Karno dalam salah satu pidatonya, “Berulang-ulang kukatakan, kita bukan bangsa tempe kataku. Kita adalah bangsa besar! Jangan takut menghadapi nekolim. Jangan takut tidak dibantu oleh nekolim. Go to hell with your aid!” Begitu kurang lebih ucapan beliau. Rayat pun bersorak sorai. Tidak perduli hujan turun. Bung Karno memang orator ulung, mampu membuat pendengarnya terpesona. Bahkan setiap habis berpidatp, kekuatan sospol yang ada pada waktu itu menyatakan ‘mendukung tanpa reserve’. Beliau dapat disejajarkan dengan orator-orator ulung lainnya seperti Hitler dan Nikita Kruschov.

Zaman berubah ketika Jenderal Suharto mengambilalih kepemimpinan nasional. Beliau bukan orator. Sebab itu pidatonya terdengar datar, tanpa irama, tidak meledak-ledak. Gaya berpidato Suharto itu diikuti oleh kebanyakan tokoh masa orba, kecuali beberapa orang seperti: Harmoko dan Abdul Gafur.

Pertanyaannya, masih perlukah sekarang ini seorang tokoh berpidato dengan berapai-api? Rakyat Indonesia semakin cerdas, mampu menilai mana pidato yang berisi, mana pula yang asal bunyi (asbun).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun