Mohon tunggu...
Djasli Djosan
Djasli Djosan Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mantan redaktur dan reporter RRI, anggota Dewan Redaksi majalah Harmonis di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bahasa Dokter

13 Maret 2016   22:57 Diperbarui: 13 Maret 2016   23:53 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dulu yang menarik perhatian masyarakat terhadap dokter adalah tulisan. Kalau dikatakan ada orang yang tulisannya seperti tulisan dokter, itu berarti sulit dibaca dan dimengerti. Dan sampai sekarang tetap begitu. Yang mengerti tulisan dokter dalam kertas resep obat hanya apoteker.

Keluhan pasien yang berobat di rumah-rumah sakit pemerintah adalah bahasa yang digunakan dokter. Umumnya sangat minim memberi keterangan. Ketika ditanya seorang pasien, “Apa model penyakit saya ini bisa sembuh, dokter?” Jawabnya sangat singkat, “Ini lagi diobati.” Padahal jawaban yang diperlukan adalah kejelasan, apa menurut pengalaman sembuhnya cepat atau lambat.


Ada lagi dokter yang kesal menghadapi pasien lansia yang kurang rapi. Ada seorang pasien lansia yang datang dalam keadaan kuku jari-jari tangannya belum sempat dipotong. Sang dokter jengkel melihatnya, lantas berucap, “Kukunya kok dipajang sih. Potong dong!” Ada pula pasien yang datang membawa hasil rontgen dengan menyerahkannya masih dalam amplop. “Buka dong,” kata dokter dengan nada suara kurang sedap.

Bagi yang SDnya tahun 50an (waktu itu namanya SR), sudah diajarkan oleh guru untuk menyebut dua istilah yang berhubungan dengan buang hajat yaitu: buang air kecil dan buang air besar. Istilah buang air besar sekarang disingkat be a be. Tapi yang satu lagi diucapkan secara vulgar: kencing. 

Seorang dokter berucap kepada pasiennya yang lansia, “Bapak akan saya beri obat supaya terkencing-kencing…” Itu diucapkan dengan cukup keras, sehingga terdengar oleh pasien-pasien lainnya yang sedang menunggu giliran. Sang dokter rupanya lupa, seorang pasien tidak mau atau malu kalau penyakitnya diketahui orang lain. Dokter sebenarnya bisa menginformasikan dengan suara pelan, “Jangan kaget ya Pak. Setelah minum obat ini buang air kecilnya nanti akan sering…”

Selain bahasa yang kurang teratur, pada umumnya dokter menghadapi pasien secara pukul rata: seperti menghadapi anak-anak. Alangkah eloknya kalau dokter mempertimbangkan keadaan pasien yang beragam. Di antara pasien itu, mungkin ada yang pangkat PNSnya lebih tinggi dari pangkat PNS sang dokter. Kalau tidak menghargai dari segi ketuaan, setidaknya menghargai senioritas PNS. Tidak minta dihormati, melainkan minta disapa dan diberi penjelasan yang menyejukkan. Dalam pada itu kita salut kepada dokter yang selalu menggunakan bahasa yang enak dan sikap simpatik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun