Mengenang almarhum bapak yang lahir pada bulan Agustus seratus satu tahun yang lalu dan masa kanak-kanaknya di Nyarumkop, Singkawang, Kalimantan Barat.Â
Tulisan ini juga tulisan ke dua tentang  tempat kelahiran almarhum bapakku, yang masa kanak-kanak di antara tahun  1921 - 1931 yang pernah dialami oleh bapakku, sering sekali diceritakan kepada ibuku yang kemudian dikumpulkan dalam kumpulan tulisan ibuku. Aku sering membaca kembali, inilah cerita-cerita  masa kanak-kanak almarhum bapakku di Singkawang.
Inspeksi kantong celana. Pada suatu hari tiba-tiba kakekku mengadakan inspeksi mendadak kepada anak-anaknya termasuk kepada bapakku ketika pulang bermain. Anak-anak kakek disuruh berdiri kemudian mengeluarkan saku celananya dan apa yang terjadi? Berjatuhanlah uang-uang koin di lantai dari saku celana.Â
Kakekku sudah sangat paham dari mana asal uang koin itu diperoleh. Pasti anak-anaknya pergi ke rumah duka dan ikut menangis turut larut berduka cita di keluarga etnis Cina yang memang merupakan tradisi kematiannya yang kemudian diberi uang koin. Jumlah koinnya tidak satu jadi terbayang berapa kali bapakku bolak-balik pura-pura menangis.
Tidak Nafsu Makan. Tradisi makan bersama keluarga suatu yang lumrah didalam satu keluarga besar. Ketika anak-anak Kakekku waktunya makan tetapi tidak bernafsu makan padahal habis bermain yang pasti sangat lapar.Â
Kakekku langsung bertanya dengan pertanyaan berturut-turut, "Makan di mana? Di pekuburan Cina? Makan persembahan?" Dengan menunduk kepala semua anak akan  mengangguk. Daya tarik pesembahan di pekuburan Cina sangat menarik kata bapakku karena buah-buahan yang baru saja diletakkan tampak segar-segar dan begitu juga dengan kue-kuenya yang dipersembahkan kepada dewa-dewa pasti enak-enak.
Bapak tidak pernah bercerita apakah dalam hal ini kakek memberi hukuman kepada anak-anaknya yang pasti sebagai Guru Misionaris Sekolah Katolik di Nyaromkop selalu memberi nasehat kepada anak-anaknya untuk tidak melakukan hal-hal diatas. Namanya anak-anak kadang ingat kadang lupa apa yang sudah dinasehati kenang bapakku.
Mengumpan anak buaya. Sungai pada saat itu merupakan tempat aktifitas keluarga untuk mandi, mencuci maupun bermain bagi anak-anak. Suatu ketika ada anak buaya yang naik ke daratan, bapakku mempunyai ide untuk membawa pulang ke rumah untuk dipelihara. Walaupun buaya itu masih kecil tetap bapakku takut untuk mengangkat atau menggendongnya. Anak buaya diberi umpan ikan yang ditusukkan ke ranting yang dipegang bapak kemudian berjalan ke rumah dan anak buaya pun mengikuti.Â
Tiba di rumah, nenekku  yang melihat dan mengetahui bapakku ingin memelihara anak buaya. Nenek langsung mengatakan, "Kembalikan anak buaya ke sungai nanti dicari sama induknya." Dalam pikiran bapakku induk buaya yang sangat besar akan menghampiri ke rumahnya. Serem juga, bapakku langsung mengembalikan anak buaya ke sungai dengan cara yang sama mengumpan dengan ikan agar buaya itu mengikutinya.
Kotoran sapi di dalam kandang. Kakekku sebagai seorang guru yang mengajarkan bahasa Melayu kepada suku-suku Dayak, sering mekakukan perjalanan ke kampung-kampung mereka dan sering dihadiahi seekor ayam. Ayam-ayam pemberian hadiah dibuatkan kandang dan sering bertelur.Â
Suatu pagi bapakku mendapat tugas mengambil telur-telur di kandang, tetapi bapak tidak berhasil menemukan telur-telur itu maupun tak terdengar suara ayam-ayam. Ketika bapak akan keluar kandang tak sengaja menginjak sesuatu yang empuk berwarna hijau  dan yang ada dalam pikiran bapakku itu tahi sapi. Bapak langsung melaporkan kejadian ini ke kakek, "Telur-telur dan ayam tidak ada dan aku menginjak tahi sapi."Â