m i a Jamila
Awalnya terdengar memang sedikit asing dan bagi saya sulit untuk diingat sering salah terus menyebutnya bahkan menulisnya juga suka salah. Itulah Nyarumkop adalah nama daerah di Singkawang Kalimantan Barat. Sekitar empat jam dari kota Pontianak tanpa ada kemacetan, perjalanan darat yang datar.
Mengapa saya tertarik dengan nama daerah Nyarumkop, suatu tempat yang belum pernah saya kunjungi walau pernah mengunjungi kota Singkawang pada bulan Pebruari 2018 mampir di malam hari, perjalanan pulang dari Sendau kembali ke Pontianak tetapi tidak memiliki waktu untuk mengunjungi Nyarumkop.Â
Daerah tempat kelahiran ayah saya dan masa kanak-kanaknya yang pernah dihabiskan di daerah ini pada tahun 1921 - 1932.Seabad yang lalu dengan keadaan sangat berbeda, Nyarumkop masih dikelilingi hutan belantara Kalimantan.
Mengapa kakek kami yang bernama Tobias Ngenget merupakan orang asli Minahasa Sulawesi Utara bisa sampai di Nyarumkop Kalimantan Barat ? Kakek saya seorang guru Sekolah Katolik yang mendapatkan tugas mengajar di daerah ini.Â
Saya tidak tahu tepatnya tahun berapa kakek datang ke Nyarumkop, tetapi ketika membaca sejarah sekolah Katolik di Nyarumkop yang  didapatkan dari mbah gugel saya mendapatkan data sejarah dibukanya sekolah ini oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1916.Â
Ayah  lahir pada tahun 1921 di bulan Agustus jadi bertepatan seabad yang lalu. Perkiraan
kakek datang di Nyarumkop pada tahun antara 1916 dan 1920.
Banyak kisah-kisah menarik dari kehidupan masa kecil ayah saya di Nyarumkop suatu daerah yang didiami oleh tiga etnis yaitu Dayak, Melayu, Tionghoa dan kehidupan alam hutannya.Â
Di buka sekolahnya di Nyarumkop untuk memberikan pendidikan dasar yaitu membaca, menulis dan berhitung untuk suku-suku di sana, termasuk mengajarkan bahasa Melayu kepada suku Dayak. Kakek yang seorang guru menjadi penterjemah antar Raja Melayu dan orang-orang Dayak.Â
Kejadian orang Dayak yang menitipkan suatu barang dalam karung yang katanya bola-bola kepada kakek kami dan kakek sangat mengetahui sekali isinya karena berhubungan dengan tradisi ngayau atau kayau.Â
Tradisi berduka dan persembahan di pekuburan suku Tionghoa yang menjadi bagian masa kanak-kanak ayah saya. Pengalaman bagaimana rasanya ayah saya yang menginjak ular phyton sangat besar yang tertidur pulas, keinginan memelihara anak buaya dan kisah-kisah menarik di bumi Nyarumkop. Â
Suatu ketika semoga dapat menuliskan kembali cerita-cerita yang menarik dari ayah saya ini. Saya menuliskan ini sebagai bentuk kenangan untuk ayah yang berpulang pada 19 Agustus 2002 hampir dua puluh tahun lalu.Â
Suatu saat  saya berharap dapat mengunjungi Nyarumkop yang sekarang tentunya berbeda suasana karena sudah menjadi daerah administratif kelurahan di  Singkawang Timur, Kalimantan Barat, walau jejak-jejak kakek dan ayah sudah tidak ada disana lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H