Baru-baru ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) meluncurkan suatu kebijakan baru, yaitu menghapus sistem penjurusan di SMA.Â
Kebijakan ini juga sebagai bagian dari program kurikulum baru yang akan diterapkan pada tahun ini. Jadi, tidak ada lagi yang namanya kelas jurusan IPA, IPS, maupun Bahasa di lingkungan pendidikan SMA. Dengan adanya kebijakan ini, banyak pro dan kontra yang bermunculan di kalangan masyarakat.
Kubu pro menilai bahwa kebijakan tersebut merupakan suatu langkah yang revolusioner. Sistem penjurusan di SMA selama ini justru menimbulkan berbagai macam stigma negatif yang mencoreng dunia pendidikan, seperti adanya kesan superior di jurusan tertentu.Â
Seperti yang diketahui, jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) selama selalu dianggap superior. Banyak orang tua yang meyakini bahwa jika anaknya menyandang status sebagai "anak IPA", maka kesuksesan mereka lebih terjamin daripada jurusan lain seperti IPS atau bahkan Bahasa.
Jadi, dengan adanya kebijakan penghapusan sekat jurusan, stigma tersebut akan menghilang. Selanjutnya, penghapusan jurusan akan semakin memperkecil peluang peserta didik untuk melakukan lintas jurusan pada saat menjelang ujian masuk kampus.Â
Banyak peserta didik yang merasa salah jurusan (entah karena gengsi atau terpaksa) dan akhirnya memilih jurusan kuliah yang berbeda dengan jurusan saat di SMA. Selain itu, para peserta didik dapat jauh lebih leluasa dalam belajar dan mengeksplorasi dirinya.
Bagi kubu kontra, sistem penghapusan jurusan ini kurang efektif jika dilihat dari keadaan masyarakat Indonesia sekarang. Apalagi dengan kurangnya pedoman bagi peserta didik untuk memilih mata pelajaran yang sesuai dengan minat, bakat, atau cita-citanya.Â
Dilansir dari Kumparan, Senin (27/12/2021) salah satu pakar pendidikan dari Persatuan Keluarga Besar Taman Siswa (PKBTS), Darmaningtyas, menyatakan bahwa dengan dibebaskannya para peserta didik untuk memilih mata pelajaran justru dapat berpengaruh terhadap daya nalar mereka.Â
Sebagai contoh semisal peserta didik hanya memilih mata pelajaran ranah IPS, maka mereka tidak akan mendapat ilmu bagaimana cara berpikir kritis dan analitis seperti yang diajarkan di pelajaran ranah IPA. Dia juga berpendapat bahwa mereka juga akan berpotensi mudah terpapar berita palsu/hoaks.
Apa itu Berpikir Kritis ?Â