Mohon tunggu...
Gafur Djali
Gafur Djali Mohon Tunggu... -

Direktur Indonesia Research and Strategy (IRS)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kriminalisasi Komisi Yudisial, Konstitusi Tiada Arti

14 Juli 2015   02:38 Diperbarui: 14 Juli 2015   03:13 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Badan Reserse Kriminal Polri menetapkan status tersangka kepada Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki dan Komisioner KY Taufiqurrahman Sahuri. Yaitu setelah Sarpin melaporkan Taufiq dan Suparman kepada Bareskrim atas tuduhan pencemaran nama baik pada akhir Maret lalu. Hal ini terkait putusan Sarpin yang mengabulkan gugatan praperadilan Wakil Kepala Kepolisian Komisaris Jenderal Budi Gunawan.

Kriminalisasi Konstitusi

Penetapan ini dinilai janggal, karena apa yang dilakukan oleh Suparman Marzuki dan Taufiqurrahman Sahuri adalah sebagai bagian dari menjalankan tugas konstitusional yang diamanatkan kepada Komisi Yudisial. Berdasar pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, pasal 13 mengatur tentang kewenangan komisi yudisial, yaitu:

a. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkama Agung kepada DPR untuk mendapat persetujuan.

b. Menjaga dan mengegakan kegormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim.

c. Menetapkan kode etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkama Agung.

d. Menjaga dan menegakan pelaksanaan kode etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim

Selanjutnya pada pasal 22D poit (2) dijelaskan: bila Hakim Terbukti melanggar Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim, maka Komisi Yudisial dapat memberikan sangsi (ringan, sedang, berat). Maka sudah sangat jelas bahwa kritik yang dilontarkan oleh Suparman Marzuki dan Taufiqurrahman Sahuri adalah sebagai upaya menjalankan tugasnya sebagai Ketua dan Komisioner Komisi Yudisial. Sehigga ketika Sarpin melaporkan mereka atas tuduhan pencemaran nama baik, maka ini sangat janggal.

Demikian juga dengan penetapan tersangka oleh Badan Reserse Kriminal Polri yang sangat janggal. Karena sebelum menetapkan tersangka maka Bareskrim Polri perlu berkonsultasi dengan DPR. Karena Komisi Yudisial bertanggungjawab kepada publik melalui DPR atas sepengetahuan Presiden.

Namun hal itu tidak dilakukan, sehingga publik menilainya sebagai Kriminalisasi terhadap kinerja Ketua & Komisioner Komisi Yudisial. Oleh sebab itu, sudah patut kiranya kita semua memberi dukungan kepada Komisi Yudisial. Sebagai Lembaga Negara yang menjalankan tugas konstitusional dalam menegegakan Hukum dan Peradilan di negeri ini. Akan menjadi preseden buruk ketika wewenang undang-undang dipahami sebagai sebuah tindakan kriminal.  

Publik Yang Konstitusional

Masih jelas dalam ingatan publik bahwa apa yang dilakukan Bareskrim Polri kepada Komisi Yudisial, mirip dengan yang kisru Polri vs KPK. Mirip ajang unjuk kepolehan, unjuk kedigdayaan antar lembaga penegak hukum. Mafhum kiranya bila langkah Polri ini dipandang oleh publik sebagai arogansi. Arogansi kelompok yang kebetulan sedang berkuasa di tubuh Polri demi menjaga eksistensi kelompok.

Rupa-rupanya Polri sebagai institusi penegak hukum semacam sedang mengalami abuse of power, yaitu ketika institusi Negara justru jadi kendaraan untuk melegalkan maneuver dan arogansi personal. Sebagai warga negara tentu kita semua ingin melihat Polri tampil elegan sesuai amanat reformasi. Bukan seperti yang sedang dipertontonkan saat ini. Sebenarnya dalam beberapa tahun belakangan, pelayanan Polri di masyarakat cukup baik. Ada peningkatan kualitas pelayanan dan perbaikan citra Polri. Namun rangkaian aksi gagah-gagahan petinggi Polri justru membuat citra Polri semakin terpuruk.

Publik mulai hilang kepercayaan kepada Polri. Gonjang ganjing ini perlu disikapi seksama oleh Presiden RI. Joko Widodo punya kewenangan tertinggi, pemengan amanat rakyat sepenuhnya. Bahwa mediasi harus dilakukan agar kisruh ini tidak berkepanjangan. Publik tidak mau diombang-ambingkan oleh arogansi personal yang menggunakan institusi. Publik sudah capek. Sudah lelah.

Harapan publik yang tersisa adalah Presiden RI menyelesaikan masalah ini sesegera mungkin. Menyelamatkan Polri dan Menyelamatkan KOmisi Yudisial. Agar agenda-agenda kebijakan pembangunan yang tertuang dalam Nawa Cita bias segera di laksanakan. Publik ingin segera sibuk, terlibat dan merasakan manfaat dari program Nawa Cita tersebut. Bukan malah dibikin pusing oleh kisruh yang justru kontra produktif.

Atau mungkin, ada person-person di dalam tubuh Polri yang ingin melihat Joko Widodo gagal? Karena sesungguhnya bila Jokowi gagal, maka sejatinya bangsa-negara inilah yang gagal. Rakyat yang sengsara.

 

Ambon, 14 Juli 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun