[caption caption="suaradesa.timesindonesia.co.id"]Implementasi UU Desa akan segera bergulir. Hampir setiap saat tema terkait implementasi UU Desa selalu menjadi obrolan hangat di masyarakat. Ini dinamika positif, setidaknya ketika warga berkumpul di waktu santai tak lagi berbincang soal gossip tetangga. Melainkan sibuk diskusi terkait rencana pembangunan dan pemberdayaan desa.
Namun muncul fenomena baru, bahwa ada semacam disinformasi dan mispersepsi yang bertaburan di desa-desa. Para pemuka desa dan warga desa justru percaya dan berpandangan bahwa ketika implementasi UU Desa bergulir, maka secara otomatis desa akan menerima kucuran dana 1.4 miliar rupiah. Dahsat!
Rupa-rupanya banyak yang sibuk mendiskusikan tentang jumlah anggaran dan rencana pembangunan fisik semata. Tanpa pernah berfikir dan bertanya soal esensi, mekanisme, pengelolaan, pemberdayaan dan menejemen kontrol ketika UU Desa dimplementasikan. Sontak saja, bila trand ini terus berlangsung, maka implementasi UU Desa di Maluku akan menempuh jalan terjal berliku.
Memahami Esensi UU Desa
Sebelum Indonesia merdeka lebih kurang ada 250 desa yang memiliki otonomi-terbatas semasa kolonial Belanda yang biasa disebut “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Oleh sebab itu, posisi desa telah mendapat pengakuan dalam kesatuan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tertuang dalam penjelasan pasa 18 UUD 1945. Sementara kehadiran UU Desa semakin mempertegas posisi desa dalam pembangunan nasional.
Secara garis besar UU Desa mengatur materi mengenai Asas Pengaturan, Kedudukan dan Jenis Desa, Penataan Desa, Kewenangan Desa, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Hak dan Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa, Peraturan Desa, Keuangan Desa dan Aset Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa, Kerja Sama Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, serta Pembinaan dan Pengawasan. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur dengan ketentuan khusus yang hanya berlaku untuk Desa Adat.
Bila diperhatikan secara seksama, sesungguhnya UU Desa tidak hanya memberi kepastian hukum bagi desa administratif semata, melainkan juga member tempat istimewa bagi desa adat atau yang disebut dengan nama lain. Ini menjadi penting karena sekaligus menghilangkan friksi antara hukum positif dan hukum adat. Bahwa Negara secara penuh menghargai, menghormati dan memberi keleluasaan bagi desa adat untuk menjalankan kebijakan hukum adat setempat.
Hal tersebut tertuang dalam Pada Pasal 1 UU Desa. Yaitu terkait definisi desa:
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip dasar konstruksi UU Desa adalah menggabungkan fungsi self-governing community dan local self government. Self-governing community Yaitu menjalankan kewenangan pemerintahan desa berdasar pada hal asalusul dan kewenangan lokal berskala desa. Sementara local self government yaitu kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dan juga kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Maka ada empat kewenangan utama yang dimiliki desa, Kewenangan ini harus dijalankan secara demokratis, berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa. Yaitu: Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Pelaksanaan Pembangunan Desa, Pembinaan kemasyarakatan Desa, dan Pemberdayaan masyarakat Desa.
Fungsi self-governing community dan local self government agar desa di masa mendatang dapat memenuhi tujuan utama amanat UU Desa. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 4, bahwa Pengaturan Desa bertujuan sebagai berikut:
- Memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa.
- Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama.
- Membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab.
- Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum.
- Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional.
- Memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional.
- Memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.
Tantangan Implementasi UU Desa Di Maluku
Pemerintah menyadari bahwa pelaksanaan pengaturan Desa yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Terutama menyangkut kedudukan masyarakat hukum adat, demokratisasi, keberagaman, partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan. Sehingga menimbulkan kesenjangan antarwilayah, kemiskinan, dan masalah sosial budaya yang dapat mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tantangan terberat saat ini adalah menghidupkan dan memajukan Indonesia dari desa. Upaya ini tentu akan menemui tantangan yang berat. Mengingat secara nasional ada sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) Desa dan sekitar 8.000 (delapan ribu) kelurahan. Sementara di Maluku ada sekitar 1.169 desa/kelurahan yang terdiri dari 1.135 Desa/Negeri Adat dan 34 kelurahan.
Tabel Kabupaten/Kota Di Provinsi Maluku Tahun 2012
Sumber : Biro Pemerintahan Setda Maluku 2013
Komposisi Desa di Maluku terbilang cukup besar yaitu setara dengan 7% dari total desa/kelurahan di Indonesia. Maka hal utama yang harus juga diperhatikan adalah memahami dan meminimalisir tantangan ketika implementasi UU Desa. Khususnya tantangan berskala lokal (level Provinsi & Kab/Kota). Menurut pantauan Maluku Institute, ada beberapa tantangan yang akan dihadapi ketika implementasi UU Desa di Maluku. Yaitu berkaitan dengan beberapa hal sebagai berikut:
1. Masih ada dan sering terjadi sengketa pemerintahan Desa/Negeri Adat. Kasus ini banyak terjadi di Kabupaten Maluku Tengah. Dampak paling utama adalah krisis legitimasi pemerintahan desa/negeri karena dipimpin oleh Pejabat Sementara. Sehingga Desa/Negeri tidak mampu menjalankan kewenangan Self-governing community. Yaitu menjalankan kewenangan pemerintahan desa berdasar pada hal asalusul dan kewenangan lokal berskala desa. Sehingga perumusan kebijakan dan pembangunan berskala Desa/Negeri juga ikut terkendala.
2. Administratif Desa/Negeri belum dikelola secara proporsional dan professional. Masih banyak desa yang belum lengkap dan belum siap terutama dari sisi kelengkapan administratif. Yaitu data terkait Desa/Negeri seperti luas wilayah, batas wilayah, demografi penduduk, potensi ekonomi, laporan kerja tahuan, dan rencana pembangunan Desa/Negeri. Ini akan berdampak pada eksekusi anggaran dana desa yang tidak dapat diakses karena Desa/Negeri belum memenuhi standart syarat anministratif sesuai UU Desa.
3. Singkronisasi kebijakan Desa/Negeri dengan kebijakan Pemerintah daerah Maluku. Dalam rangka mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan antar wilayah di Daerah Maluku sebagai wilayah kepulauan, salah satu pendekatan dalam implementasi pembangunan adalah pendekatan wilayah yang didasarkan pada konsep Gugus Pulau. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 16 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Maluku Tahun 2013-2033, terdapat 12 Gugus Pulau di Provinsi Maluku. Pembangunan berbasis kepulauan ini juga perlu disingkronkan dengan pembangunan Desa/Negeri. Agar tidak terjadi ketimpangan dan dobel agenda yang justru akan kontraproduktif.
4. Stabilitas dan Keamanan Desa/Negeri dan Konflik kepentingan. Masih sering terjadi konflik horizontal antar Desa/Negeri atau antar kelompok dalam satu Desa/negeri. Pada umumnya dipicu oleh suksesi pemerintahan Desa/Negeri (pemilihan Raja/Kepala Desa), pertentangan ketika Pemilukada, Sengketa Batas Tanah Ulayat, Perselisihan Pemuda, dll. Bila konflik horizontal pecah tentu akan berdampak luas seperti kematian, fasilitas publik rusak, akses transportasi terputus dan kerjasama antar Desa/Negeri tidak dapat direalisasikan. Maka kerjasama dan kesadaran semua pihak untuk mewujudkan stabilitas dan menjaga keamanan sangat diperlukan pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan Desa/Negeri bisa berjalan maksimal.
5. Minimnya informasi dan pengetahuan terkait UU Desa dan perangkat hukum terkait. Selama ini aparatur desa dan masyarakat Desa/Negeri masih minim pemahaman dan informasi terkait implementasi UU Desa. Sehingga memunculkan persoalan baru yaitu mispersepsi dan keliru paham di masyarakat. Maka butuh semacam upaya pendidiakan, pelatihan atau penyuluhan agar aparatur Desa/Negeri mampu memahami dan dapat menjalankan amanat UU Desa. Terlebih karena Maluku notabene didominasi oleh Desa/Negeri Adat, yang butuh sedikit penyesuaian sesuai ketentuan UU.
Bila kelima tantangan di atas belum mampu disikapi oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka sudah dapat dipastikan imlementasi UU Desa di Maluku akan menemui jalan buntu. Hal utama yang harus segera dilakukan di Maluku adalah mengadakan sosialisasi, pelatihan atau pendidikan bagi seluruh pemangku kepentingan di Desa/Negeri. Karena bila tidak, akan semakin tumbuh subur salah paham dan keliru sikap yang diderita oleh segenap Desa/Negeri di Maluku. Dan ujung-ujungnya UU Desa yang sebelumnya membuat masyarakat berbunga-bunga justru bisa bikin semua patah hati.
Ambon, 7 Juli 2015
Gafur Djali
Direktur Maluku Institute
“Center on Public Policy and Economic Development Studies”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H