Kita ini saudara se-Tanah Air. Tanpa Indonesia belum tentu kita merasakan kondisi seperti sekarang ini, terlepas saat ini kondisi kita masing-masing ada yang sudah tentrem maupun masih surem, kita syukuri saja.
Segala perbedaan suku, agama, ras, parpol, madhzab maupun jenis perbedaan lainnya itu sebuah Keniscayaan. Kalau kita meyakini itu sebuah anugerah, mungkin situasinya bisa lebih kondusif. Sebaliknya, kalau itu sebuah musibah dan memaksakannya dengan sepaksa-paksanya untuk menyatukan perbedaan maka setiap hari kita akan saling chaos.
Keniscayaan tersebut bukan sesuatu yang salah maupun sebuah masalah. Karena itu Pancasila mengikat kita dalam satu kerukunan dan permusyawaratan. Kecuali mereka yang tidak mengakui itu.
Kalau Indonesia tidak dimunculkan, bisa saja hingga kini kita masih dibawah kendali penjajah asing, atau minimal masih tercecer berdasarkan wilayah kerajaannya masing-masing. Pastinya perjalanan hidup setiap kita akan beda dengan yang sekarang kita alami, entah seperti apa, yang jelas saya tidak ingin membayangkan itu.
Yang harus kita bayangkan sekarang, "bagaimana caranya perbedaan yang ada tidak menghambat niat bangsa ini untuk tumbuh besar dan kuat sehingga masyarakatnya memiliki peradaban yang lebih manusiawi." Ciri peradaban manusiawi misalnya, masyarakatnya sejahtera, sehat dan cerdas lahir bathin, upaya penegakan hukum ditegakkan dengan setegak-tegaknya tanpa pandang bulu.
Apakah kita lupa mengaca dari situasi Politik yang terjadi di Timur Tengah, pertumpahan darah akibat perang saudara kerap berlangsung, terlepas ada tidaknya grand design dari pihak asing. Apakah kita juga lupa mengaca dari situasi Ekonomi yang terjadi di Eropa bahwa krisis keuangan yang melanda hingga kini mengakibatkan angka pengangguran cukup tinggi, begitupun krisis ekonomi yang terjadi Amerika.
Modal kita cukup besar untuk menjadi bangsa yang besar; sumber daya alam yang melimpah, ukuran wilayah yang sangat luas, letak geografis yang strategis, jumlah populasi yang tinggi, hingga keragaman seni dan budaya yang sangat beragam serta lain-lainnya. "Nikmat Tuhan kamu yang mana lagi yang engkau dustakan?"
Hanya saja ada tiga kendala yang masih mengkungkung bangsa kita untuk lepas landas menuju kebesarannya ; Mis-orientasi pada sistem pengelolaan negara, pengelola negara yang belum amanah dan kurang profesional, dan kendala terakhir belum selesainya masing-masing kita dalam meyakini benang merah terhadap sebuah perbedaan.
Khusus kendala terakhir, itu dapat menciptakan 'bola liar'. Salah satu akibat misalnya konflik horizontal yang berkepanjangan mengingat minimnya kearifan pada tingkatan elit sosial dalam menyikapi perbedaan, sehingga di tingkatan massa dan akar rumput situasi tersebut sulit terkendali.
Dampak situasi yang sulit itu mengakibatkan grafik dan iklim ekonomi agak kaku dan lambat untuk merambat naik, akhirnya ekonomi mikro yang mendominasi perputaran ekonomi bangsa ini tidak dinamis yang ujungnya berdampak pada pendapatan perkapita bangsa ini yang masih jauh dibawah Singapura, yang notabenennya hanya negara kecil dan minim sumber daya alam.
Kalau saja rasa saling menghormati dan menghargai antar segala perbedaan itu bisa kita lebih junjung tinggi sejunjung-junjungnya, saya kira itu bisa sedikit membantu untuk bangsa ini bangkit dari permasalahan-permasalahan ekonomi, sosial, budaya dan politik. Kita tidak perlu selalu curiga mencurigai. Menunjukan ketauladanan, interaksi sosial yang penuh kekeluargaan, serta saling mengingatkan dalam kerangka kebersamaan berbangsa dan bermasyarakat merupakan asas dan budaya bangsa kita yang harus terus kita sosialisasikan dan terapkan bersama.
Dan sejatinya, "tak ada persatuan tanpa perbedaan, tak ada perbedaan yang bernilai tanpa persatuan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H