Karena meletakkan pidato sebagai sumber dan puncak politik, Sabarno tak pernah lalai memberikan komentarnya barang sedikit saja. Di mana pun ia berada. Selepas berkunjung pada sebuah daerah yang sebagian besar penduduknya dikenal preman misalnya, tak lupa ia berpidato singkat. “Bangsa kita butuh preman, dalam arti free man, yaitu lelaki yang bebas berkarya untuk bangsa.” Ketika mengunjungi Lembaga Pemasyarakatan, ia pun menyetir kata-kata hebat Goethe, “kita harus berubah, memperbaharui diri, dan meremajakan diri kalau tidak, kita akan membatu.” Sesungguhnya, Sabarno tak tahu siapa itu Goethe, tetapi nama itu ada dalam diktat yang diberikan oleh penasehatnya.
Di mana-mana tiap kali kunjungan, ia selalu meninggalkan jejak pidatonya serupa kata-kata mutiara. Kalau kata-kata mutiara ini dikumpulkan barangkali ia akan mengalahkan motivator hebat yang dimiliki bangsa ini. Tiap kali kunjungan, pidatonya pasti khas sesuai dengan keadaan lapangan. Ya, kunjungan. Konon, program kunjungan ini adalah ide dari penasehatnya. Tentu saja pembaca tahu siapa sebenarnya pencetus ide kunjungan atau disebut “blusukan” ini. Penasehatnya mengaku mencontoh begitu saja model ini sebab dirasa ampuh untuk mengangkat citra. Kata penasehatnya, kunjungan mampu menambah pembendaraan kata-kata pidatonya. Jadi, kunjungannya itu menjadi bahan pidatonya.
Namun, suatu kali, penasehatnya geram bukan main ketika Sabarno “blusukan” atau istilah mereka “kunjungan” ke sebuah SD. Di sana Sabarno sempat marah hanya gara-gara seorang murid tertidur saat ia berpidato. Penasehatnya mengatakan mestinya Sabarno tak perlu marah. “Cukup katakan kepada media bahwa anak-anak pun nyaman di dekat Anda, tak takut tidur meski Anda sedang berpidato. Bukankah itu menambah citra Bapak?”
Yang lebih membuat marah penasehatnya adalah ketika Sabarno mengakhiri pidatonya. Awalnya ia berkata-kata penuh percaya diri, “Anak-anak, kalian tahu dunia fantasi? Ya, disney. Sebagai penutup pidato, bapak akan mengutip kata-kata Walt Disney, pendiri Dunia fanstasi itu. Begini katanya: jika kau dapat memimpikan sesuatu, kau akan dapat melakukannya!” Kata-kata ini sungguh mengena bagi anak-anak sebenarnya. Sampai di sini penasehatnya setuju. Namun, selesai mengatakan itu, Sabarno mengambil gitar dan mengajak anak-anak untuk bernyanyi. Nah, inilah yang membuat penasehatnya marah.
“Berpidato sambil main gitar itu sungguh tak masuk akal, Pak.” Kata penasehatnya dengan nada tinggi. “Dalam benak anak-anak tak ada sedikit pun gambaran pemimpin itu seorang satria bergitar. Satria bergitar itu hanya ada dalam benak orang zaman romantisme. Bahkan, di zaman romantisme, isak tangis pun terasa manis. Janganlah, Bapak, mengorbankan wibawa hanya untuk terlihat mempunyai darah seni. Hobi bapak bermain gitar ini adalah cela bagi lawan-lawan politik untuk menyerang bapak. Nanti kalau sudah jadi walikota, apakah persoalan masyarakat bisa diselesaikan dengan membuat sebuah lagu?”
Sabarno mencerna kata-kata penasehatnya dan menyimpan dalam hatinya. Ia merasa diajari berpidato oleh penasehatnya. Diajari lewat praktek langsung. Ia tidak patah semangat. Justru ia makin dikuatkan untuk menjadi walikota yang mahir berkata-kata.
Sementara hari H pemilihan makin mendekat. Tim suksesnya berusaha memenangkan pemilihan walikota ini. Demikian juga tim sukses lawan-lawan politiknya. Sudut-sudut kota menjadi kumuh karena gambar-gambar calon walikota. Pohon-pohon pun disiksa dengan tempelan-tempelan gambar yang tentu saja membuat aktivis lingkungan menjadi geram.
Beberapa kali TV lokal mengundang para kandidat walikota ini untuk berdebat. Tentu saja dalam bidang ini, Sabarno menguasai. Sesuai ajaran penasehatnya, Sabarno membungkam lawan-lawan politiknya. Membungkam yang dimaksud di sini adalah membuat bingung. Ya, bingung karena Sabarno terlalu banyak mengutip kata-kata tokoh terkenal tanpa sambung dengan substansi perdebatan. Namun, penasehatnya sangat bangga karena Sabarno terlihat seperti macan di medan perdebatan.
Malam hari H-1, suasana kota semakin panas. Seluruh warga menanti siapa yang akan menang pada pemilihan besok hari. Beberapa politikus memberikan peringatan kalau terjadi serangan fajar. Sebagian tokoh masyarakat menghimbau masyarakat untuk berpikir kritis. Sebagian anggota keamanan siap mengamankan TPS. Riuh suasana di TPS nampaknya sama dengan riuh perasaan dalam dada para calon walikota.
Sebenarnya, sebagian besar sudah menduga siapa yang akan menang dalam pemilihan besok. Seorang calon telah berhasil memikat warga dengan program-program yang masuk akal. Apalagi, lembaga survei lokal telah menempatkan ia pada urutan pertama. Tentu saja, dia bukan Sabarno.
Sesungguhnya, tim sukses pemenangan Sabarno was-was dengan calon kuat lawan Sabarno itu. Tim mereka menyiapkan diri apabila Sabarno kalah. Penasehatnya pun nampaknya tahu bahwa Sabarno akan kalah. Dan, seperti kebanyakan orang yang selalu cari keuntungan pada kekuasaan, ia pun siap pindah halauan merapat pada calon yang menang.