Mohon tunggu...
Djagad Lelanang
Djagad Lelanang Mohon Tunggu... lainnya -

saya, lelaki dan terus mencoba menjadi lelaki dalam pikiran, perkataan dan tindakan saya. Saya terbuka dengan aneka pemikiran, konsep, sistem hidup, apapun itu hingga yg paling tak lazim pun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pidato Calon Walikota

28 November 2013   10:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:35 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di atas meja masih tergeletak dua lembar kertas yang mesti ia hafal. Seharian ia berjuang untuk menaklukan baris demi baris kertas itu. Kini, ia menyeruput kopi untuk menghadang rasa kantuk yang mulai menyerang. Malam segera akan berganti dini hari, dan Sabarno mesti berlatih lagi. Besok seorang penasehatnya akan melihat perkembangannya. Maka, setelah, menyeruput kopi buatan istri, ia kembali memungut lembaran kertas itu, dan mengepalkan tangannya.

“Ingat, Pak, jangan pernah meremehkan pidato!”. Kata penasehatnya, suatu kali sesaat setelah ia memberikan sambutan pada peresmian pencalonannya menjadi walikota. Penasehatnya memberi wejangan yang tajam gara-gara dalam sambutannya itu ia melakukan kesalahan yang fatal. Bagaimana tidak, ia membaca begitu saja sapaan “Yth” yang semestinya ia ucapkan “Yang terhormat”. Entah, karena grogi atau karena tak menyiapkan diri, ia bisa melakukan itu. Bisa jadi sekretarisnya juga memberikan kertas pidato itu terlambat. Setidaknya, ia lebih beruntung karena tidak membaca apa adanya tulisan “Bapak2, ibu2”. Pasti orang akan tertawa terbahak-bahak, bila ia tanpa bersalah mengucapkan sapaan seperti ini: Yth Bapak dua, ibu dua. Namun, kesalahan menyebut kata sapaan yang pertama itu cukup membuatnya bertekuk lutut di hadapan penasehatnya yang ahli pidato itu.

“Politik itu, pak, adalah seni mempengaruhi orang. Dan, pidato adalah salah satu perangkat utamanya. Yang menguasai kata-kata itulah yang akan berkuasa.” Dengan gaya teatrikal penasehatnya menjelaskan. Sabarno mengangguk, terkesima akan penjelasan yang menyakinkan itu.

“Bapak harus tahu bahwa pidato itu adalah seni menyihir massa. Dengan kata-kata, di depan senat Roma, Cicero membongkar persengkongkolan Catilinia. Dengan kata-kata, Bung Karno membakar amarah massa dan siap berperang dengan negeri tetangga. Dengan kata-kata pula, Bung Tomo menyihir arek-arek Surabaya menjadi beringas, tanpa ragu mengangkat senjata melawan sekutu.”

Sabarno hanya bisa berdehem lembut menyambut penjelasan penasehatnya yang makin tak bisa disangkal. Sesaat Sabarno membatin, barangkali penasehatnya ini memang sengaja dikirim Tuhan untuk membantunya menuju kursi wali kota. Ia pun patuh dengan apa saja yang disarankan oleh penasehatnya itu. Ia tak menolak ketika diminta menghafalkan kata-kata asing. Konon, kata asing membuat kita terlihat cerdas, dalih penasehatnya. Ia pun tak menolak ketika penasehatnya membawanya ke pantai. Penasehatnya ingin menguji apakah suara lantang Sabarno sudah mampu membelah debur ombak dan angin pantai. Pun juga ketika Sabarno diminta menyamar jadi pedagang asongan hanya sekedar mengetes suara kerasnya beradu dengan jerit kendaraan yang berlalu lalang. Ia selalu tunduk kepada penasehatnya sebab ia percaya penasehatnya adalah kiriman Tuhan.

Sabarno makin giat berlatih berpidato. Dalam acara apa pun, lewat orang kepercayaannya, ia berusaha memperoleh kesempatan untuk memberi sambutan. Entah itu acara peringatan kemerdekaan di kampung, pertemuan PKK, pesta pernikahan atau pun sunatan anak salah satu tetatangganya. Dan, tiap kali habis memberi sambutan, di rumah, penasehatnya sudah siap dengan aneka teori sebagai evaluasi pidatonya.

Pernah ia dicerca habis-habisan oleh penasehatnya, karena pidatonya dianggap mengecewakan. Tetangganya, seorang ibu yang kurang mampu tiba-tiba ditimpa nestapa. Suaminya, yang sehari-hari jadi tukang ojek itu mati mengenaskan karena duel dengan para penjahat yang ingin merebut motornya. Dengan mengharu biru ia nyatakan bela sungkawanya kepada keluarga itu. Ratusan pasang mata mengawasinya. Beberapa wartawan lokal mencatat apa yang ia katakan. Orang-orang lawan politiknya, juga hadir sebagai mata-mata. Orang-orang kepercayaan Sabarno bukan main senang dengan momen ini. Mereka berkali-kali mengabadikan momen Sabarno berpidato di samping ibu dan anak-anaknya. Belasan kilat yang dari aneka kamera itu siap mewartakan bahwa Sabarno dekat dengan orang kecil. Sabarno peduli dengan orang kecil. Ia pun mengaduk-aduk perasaan tamu yang sebagian besar adalah pendukung Sabarno sendiri dengan pidato yang dibuatkan oleh sekretarisnya semalam.

“Mestinya bapak tak perlu berkali-kali menyebut kata ‘prihatin’!”. Mulailah penasehatnya mengevaluasi. “Kata prihatin yang terlalu banyak diucapkan itu terkesan palsu, dan dibuat-buat, apalagi yang mengatakan seorang pejabat. Bapak tahu bedanya orang yang mudah terharu dan tergerak hatinya khan? Konon, orang yang mudah terharu akan merogoh sapu tangannya lebih dahulu ketika melihat kemiskinan di depan matanya. Tetapi, berbeda dengan orang yang mudah tergerak hatinya. Melihat kemiskinan di depan matanya, ia akan merogoh dompetnya. Nah, kalau berkali-kali Anda menyebut kata ‘prihatin’, itu berarti sama saja Anda mengambil sapu tangan Anda, dan tak ada artinya bagi penderita. Semestinya bapak cukup memerintahkan orang bapak untuk memotret bapak ketika mengendong anak yatim yang kurang gizi itu dan mengatakan: saya akan membiayai sekolahnya sampai perguruan tinggi.”

Begitulah yang terjadi di rumah setiap Sabarno habis berpidato. Penasehatnya akan memberi masukan yang panjang dan memberi pujian tiap kali pidatonya yang dirasa memuaskan. Meski demikian, Sabarno tak jenuh untuk berlatih. Tangannya pun bergerak sesuai isi pidatonya. Kadang mengepal, kadang menunjuk, dan kadang pula melebar.
Demikian malam itu. Ia terus berlatih hingga dirasa tubuhnya telah letih. Ia akan mengulang satu dua kalimat yang terasa janggal intonasinya. Pelan-pelan ia menutup lembaran kertas itu, dan mulai lagi berpidato, berpidato lepas teks. Malam itu seperti malam yang lain, ia persembahkan waktunya untuk kata-kata.

** *

“Mohon diingat, pak, pidato adalah sumber dan puncak politik. Rencana dan visi dirumuskan dalam kata-kata. Sebaliknya, evaluasi dan tinjauan dirangkum dalam kata-kata.” Begitu penjelasan penasehatnya sebagai penutup komentar atas kemajuan pidatonya. Sekali lagi penjelasan penasehat itu tak bisa ia bantah. Siapa berani membantah, kepada utusan Allah, begitu pikirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun