Mohon tunggu...
Djagad Lelanang
Djagad Lelanang Mohon Tunggu... lainnya -

saya, lelaki dan terus mencoba menjadi lelaki dalam pikiran, perkataan dan tindakan saya. Saya terbuka dengan aneka pemikiran, konsep, sistem hidup, apapun itu hingga yg paling tak lazim pun.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perihal Perselingkuhan dan Bahtera Keluarga

2 Desember 2013   11:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:25 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Syahdan, suatu hari, di warung mie ayam langganan saya, duduklah saya sambil memesan semangkuk mie ayam bakso. Di tengah lapar yang tak sabar untuk dipuaskan, datanglah seorang lelaki dengan pakaian dinas seorang anggota keamanan negara. Ia datang bersama seorang gadis. Saya memperhatikan dengan seksama. Tentu saja perhatian saya tertuju pada gadis itu sebab ia berparas molek dengan pakaian ketat yang dihimpit oleh lekuk tubuhnya sendiri. Memperhatikan keduanya, membuat selera makan saya turun hingga ke dasar-dasar. Keduanya bermesraan seolah sedang makan berdua di pinggir kolam dengan cahaya lilin yang temaram.

Sejurus kemudian, si pria, yang berbadan kekar dan berlengan besar itu, meraih sesuatu di sakunya. Ia pun berbicara melalui benda itu : “Dek, bilangin mamah ya, Ayah jadi ke luar kota sekarang. Ya, Ayah nanti beliin oleh-oleh. Nanti, biar mamah aja yang ngantar kamu.”

Pria itu menghentikan pembicaraan, lalu meletakkan benda itu di atas meja. Insting investigasi saya langsung menangkap sinyal kebohongan yang ia kirim lewat getaran tangannya yang tak beraturan sesaat setelah meletakkan benda itu. Memalukan sekali membohongi anak kecil hanya untuk berduaan dengan wanita montok itu. Barangkali, di rumah sesaat setelah anaknya menerima telpon dari ayahnya ia berdoa untuk keselamatan ayahnya yang sedang di luar kota. Bisa jadi anaknya itu membayangkan ayahnya sedang memeras keringat, dan menahan beban yang kelewat berat di pundaknya yang bernama: tugas luar kota.

Beberapa waktu kemudian, saya menjumpai hal yang serupa. Lagi-lagi awalnya adalah rasa lapar. Rasa lapar di pagi hari membawa saya ke warung soto Boyolali. Searah pandangan saya terlihat seorang lelaki dewasa. Ia tidak sedang makan tetapi sibuk dengan HP yang sedari tadi membuatnya senyum-senyum sendiri. Beberapa saat kemudian, seorang ibu-ibu yang tak lagi muda datang. Ia langsung menuju kepada bapak itu. Bapak itu tersenyum lapang, serasa penantiannya bertahun-tahun usai sudah ketika perempuan itu datang. Bapak itu lalu mencium kening perempuan itu, mencium tangannya, dan colak-colek dengan mesra seakan ia sedang berhadapan dengan sambal yang menggairahkan. Sang perempuan hanya cekikikan, cekikan khas seorang yang dimabuk asmara.

Saya tak yakin keduanya pasangan suami istri yang sah. Meski tak mendengar percakapannya, berbeda dengan kasus pertama, tetapi pasangan ini mencurigakan. Si lelaki menunggu. Si perempuan mengantar anaknya ke sekolah dulu. Dan, di warung soto, keduanya bercumbu. Duh.

Ada banyak kisah-kisah lain yang tak akan cukup bila saya tulis di sini. Seorang teman, senior satu almamater pernah bercerita ia mundur dari pekerjaannya di perusahaan besaar di negeri ini karena tak nyaman dengan situasi kerja kantor yang sangat permisif akan perselingkuhan. Seorang teman lain dengan sedih bercerita ia tetap memutuskan pacaran dengan lelaki yang tak lagi sendiri. Seorang teman lagi dengan bangganya bercerita ia menjalin hubungan dengan beberapa wanita dalam waktu bersamaan. Dan, masih banyak lagi.

Hubungan cinta sejati nampaknya hanya ada lima di bumi ini. Mereka adalah Romeo-Juliet, Laila-Majnun, Sampek-Engtay, Tristan-Isolde, dan Mendut-Pranacitra. Konon sebuah penelitan mengatakan bahwa hanya 10 % pasangan di dunia ini yang menikah dengan orang yang paling ia cintai. Barangkali, yang sangat ia cintai tak bisa dimiliki, bisa jadi cinta adalah sebuah proses, bisa jadi cinta pasangannya pada hartanya yang ia miliki dan seterusnya-dan seterusnya.

Padahal saya selalu membayangkan indahnya hidup berkeluarga. Tak akan pernah merasakan dingin karena di ranjang sudah ada yang siap berbagi pelukan. Tak akan pernah merasa sendiri, karena kemana-mana ada yang menemani. Tak pernah ketinggalan momen menikmati petang atau malam, karena ada yang menyiapkan secangkir kopi. Tak pernah merasa lelah dan kurang semangat, karena tiap pagi ada yang memberi ciuman yang hangat. Tak pernah ada kesempatan putus asa, karena ada yang memberi puk puk dengan ketulusan cinta. Belum lagi hadirnya anak-anak yang serupa malaikat-malaikat kecil.

Namun, bayangan-bayangan indah itu mesti harus kuperiksa lagi. Belum lama ini seorang sahabat bercerita, tak mudahnya menghadapi perubahan suaminya. Dua tahun menikah rasanya sudah menjumpai pengalaman yang berat. Lupa mengancingkan baju suaminya di pergelangan tangan saja sudah membuat suami membisu selama dua hari. Duh. Urusan pekerjaan dibawa ke rumah, sampai uringan-uringan yang tak perlu. Dan, seterusnya, seterusnya.

Kieser, moralis asal Jerman itu pernah berkelakar serius bahwa keluarga di zaman ini seperti bahtera yang telah karam. Susahnya menjaga kesetiaan dan komitmen di zaman yang serba permisif ini. Belum lama ini dikabarkan seorang ibu, berumur 54 tahun meninggalkan suami, anak dan cucunya, hanya karena demi seorang lelaki, mantan pacarnya yang ditemukannya di facebook. Ada cerita-cerita lain yang membuat kita menganga.

Saya tak punya akhir untuk tulisan saya ini. Saya tak bisa menghakimi mereka yang berselingkuh, bukan karena takut kalau suatu saat saya pun melakukannya. Bukan, bukan karena itu. Saya juga tak bisa menghentikan bayangan-bayangan indah mengenai hidup berkeluarga. Cinta memang kadang-kadang datang secara tiba-tiba tanpa diminta, tanpa memberitahu kepada siapa ia dialamatkan. Tentu, ini berbeda dengan godaan yang datang dengan kelembutan yang pasti dapat dikenali dan disadari. Lalu, bagaimana dengan godaan untuk mencintai padahal tak lagi sendiri? Ah, entahlah.

Tetapi, satu hal yang barangkali penting. Marilah kita rajin memupuk dan menyiangi taman kita. Marilah kita berusaha membangun taman itu dengan hati kita. Harapannya satu: sampai kapan pun kita mendapati taman kita penuh dengan rumput yang hijau daripada rumput tetangga. Dan, kita pun merasa memilikinya dengan sepenuh hati kita.

02/12/2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun