Sharon Stone menangis tiada henti ketika mendapati dirinya menua. Demikian judul artikel yang serampangan saya buka. Karena serampangan membacanya, dalam pikiran saya berloncatan banyak hal yang serampangan juga. Siapa bisa melawan hukum alam? Siapa bisa menolak menjadi keriput, kendor, lembek dan tak bertenaga. Sekalipun itu bintang film yang kecantikannya membuat Anda menyebut nama Allah berkali-kali. Sekalipun itu gadis desa yang cantiknya, cantik alami tanpa bahan pengawet. Atau, sekalipun ia adalah bintang film panas, yang file-nya selalu Anda hidden.
Saya bayangkan: Sharon Stone melucuti pakaiannya di depan cermin. Tentu saja, tidak melemparkannya kepada Anda satu persatu. Ia lalu mengamati tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tiba-tiba ia berteriak seperti teriakannya nenek lampir yang mengguncang gunung Kelud. Kulitnya tak halus lagi, wajahnya berkeriput, beberapa bagian tubuhnya membengkak. Dan, bagian tubuhnya yang lain menjadi kendor, kewer-kewer –sebut saja, bagian tubuh yang lain, saya tak terbiasa menyebutnya. Sejak kecil yang dilarang saru oleh bapak-ibu-. Ia pun menangis. Menangis tiada henti. Pada adegan yang saya bayangan ini, Anda, para lelaki, yang dulu sempat kelimpungan ketika melihat artis ini di Basic Instinct mungkin akan memberikan pertolongan pertama pada perempuan yang sedang menangis? Semacam puk puk misalnya? Memberikan dada untuk sandaran? Atau barangkali sebuah pelukan? Apa? Anda akan memberikan nafas buatan? Nafas buatan, gundulmu! Wong dia cuma menangis, bukan hanyut di Laut.
Kembali kepada Sharon Stone. Ia toh tak berdaya menghadapi gempuran usia. Kecantikan toh fana. Ia mungkin membayangkan dirinya seperti peri yang kecantikan abadi. Karenanya, ia tak percaya kalau ia bisa menua. Bagaimana mungkin ia akan mendapati kulitnya berkeriput padahal dulu setiap mata menahan nafas ketika melihatnya memamerkan keelokan tubuhnya.
Saya sebenarnya maklum. Seorang bintang dengan kecantikan sebagai daya tarik utamanya tiba-tiba mendapati dirinya tak lagi rupawan. Ini sungguh pukulan telak! Anda bayangkan seperti Messi yang mendapati kakinya lumpuh karena asam urat. Atau, Andrea Bocceli tiba-tiba seumur hidup jadi flu terus sehingga suaranya jadi bindeng. Atau, Lee Chong Wei mendadak terserang parkison. Tiba-tiba para bintang itu pasti akan mengalami sakratul maut apabila “kelebihannya” selama hidupnya malah jadi kekurangan yang memalukan. Ia merasa tak berguna, tak berdaya. Bisa jadi ia malah mengutuki dirinya.
Tentu saja, Anda yang merasa tak punya apa-apa, ini adalah keuntungan besar di masa tua. Kalau Anda merasa tidak cantik, tidak ganteng, tak begitu cerdas, tak berbakat apa-apa, dalam kepanitian-kepanitian hanya jadi pembantu umum –masih untung masuk itungan ya?!- mestinya Anda senang. Ketika nanti sudah tua, tentu saja pergulatan batin Anda tak sedasyat Sharon Stone. Hahahaha. Tidak, ini hanya bercanda. Tak ada yang tak berguna dalam dunia ini. Bahkan, semut yang sedang meraba-raba tengkuk Anda saat ini pun mempengaruhi ekosistem dunia. Jadi, kalau Anda merasa jelek, hitam, gembrot, makannya banyak,mambu, dan ngetutan, tak bisa diajak mikir dst., janganlah berkecil hati. Anda tetap berguna bagi keseimbangan dunia! Apa itu? Hihi, hanya Mario Teguh yang tahu.
Selain maklum akan dialami artis seksi itu, saya miris juga sebenarnya. Bukankah menjadi tua bukanlah sebuah keniscayaan? Ia bukan hil yang mustahal? Tak nalar kalau tak pernah menyadari ini? Sekalipun setiap hari, Anda membasuh kulit muka Anda dengan Biore anti-acne. Sekalipun, setelah mandi Anda, menggunakan vaseline, menbody antispot whitening. Sekalipun Anda mandi susu hasil perahan sendiri. Atau, luluran sesuai tradisi para ratu. Percayalah pada saya bahwa Anda tetap menjadi tua bila sudah saatnya. Kulit Anda pun tetap akan kendor dan keriput.
Kecantikan memang rapuh, mudah hancur dan pecah. Karena ia rapuh, perlulah ia sering-sering dibawa ke Salon-Spa, perlulah ia dandani hingga yang menunggu ketiduran hingga dua kali bermimpi, perlulah ia diet hingga menyiksa diri.
Bisa jadi, Sharon Stone adalah lambang kekhawatiran manusia abad ini. Menjadi tua dan kematian barangkali menduduki peringkat satu yang dikhawatikan manusia. Ada banyak lagi kekhawatiran kalau kita ingin mendaftarnya. Konon, agen-agen seperti TV, tempat perbelanjaan dan pergaulan kita setiap hari hari menanamkan kekhawatiran-kekhawatiran yang baru. Tidak memiliki rambut lurus adalah kekhawatiran bagi orang tertentu. Tidak memiliki kulit putih langsat adalah kekhawatiran bagi orang tertentu. Tak memiliki baju yang sriwing-sriwing yang memperlihatkan ketek yang tak berbulu juga sebuah kekhawatiran. Dan, seterusnya. Sudah berkepala tiga tetapi belum pernah pacaran juga sebuah kekhawatiran yang beralasan. Apakah selamanya ia akan tidur dengan guling? Mereka yang berhubungan jarak jauh pun patut khawatir: apakah selamanya mereka berpacaran seperti dalam ilusi?
Anda pun pasti sangat paham dengan berbagai ungkapan yang populer seperti saat ini. Aku kudu kepiye?Atau, yang ini: Aku rapopo. Ada lagi yang lebih panjang, Apa aku kudu dadi indomie dulu biar jadi seleramu?Atau, ini, Apakah aku harus jadi balon yang tinggal empat sehingga akan kau pegang erat-erat?
Ungkapan-ungkapan itu bisa jadi plesetan ngawur karena begitu meluapnya kekhawatiran di sekitar kita. Syukur kalau ada kekhawatiran yang layak. Tetapi, kadang-kadang Anda pun tertawa mendengarnya. Seorang mahasiswi tak jadi masuk kuliah karena tumbuh jerawat tepat di hidungnya yang mancung. Ia khawatir kecantikannya ternoda satu titik keparat itu. Mestinya, gadis itu membaca kata-kata sakti Agus Mulyadi yang sekarang seringkali dikutip: Golek pacar kui ra ayu rapopo sing penting apal Pancasila. Kalau gadis itu membaca tentunya ia tak perlu rewel dengan jerawatnya tetapi cukup sesekali menatap lambang negara di dinding itu dan ia merasa aman di dunia ini.
Ah, sudahlah. Marilah kita berdoa semoga kita diselamatkan dari kekhawatiran-kekhawatiran yang tak perlu. Oh ya, harus segera saya akhiri tulisan ini, sebab, sesungguhnya saya khawatir apakah besok saya bisa bangun pagi-pagi?
@Djagadlelanang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H