Menjelang putaran kedua Pemilukada DKI, suasana politik Jakarta menghangat. Saya tidak bilang memanas, karena masih lebih sejuk jika dibandingkan dengan beberapa pemilukada di daerah lain yang bahkan ada yang diwarnai kerusuhan; bahkan ada yang sampai memusingkan Kementerian Dalam Negeri atau Mahkamah Agung. Namun demikian, riak-riak kecil yang berupa lontaran opini bernuansa SARA dari segelintir elit, perlu kita redam, agar tidak membesar.
Bagaimana meredamnya? Jika saya disuruh menasihati para elit itu, terus terang mereka pasti tidak akan mendengarkan apa yang akan saya katakan. Siapa lah saya ini. Namun, ijinkan saya menasihati diri sendiri dan mengingatkan para pembaca Kompasiana yang saya yakin memiliki keterbukaan akan pemikiran-pemikiran sesama blogger.
JASMERAH, itulah judul salah satu pidato BK yang terkenal. "Jangan sekali-kali melupakan sejarah", itulah makna dari pidato beliau. Tentunya hal ini harus kita pahami sebagai pesan dari Sang Proklamator ini bahwa kita harus belajar dari sejarah. Nah, sekarang, sejarah mana yang akan kita pelajari yang bisa meredam riak-riak lontaran opini SARA ini?
Saya bukan ahli sejarah. Jadi, bagi saya, mempelajari sejarah bisa saja dari bangunan bersejarah yang ada di sekitar kita. Coba kita tengok Masjid Istiqlal. Tidak perlu lah kita kaji sejarah pendiriannya, tapi cukup kita lihat-lihat bangunan di sekitarnya. Tidak jauh dari Masjid Istiqlal ada Katedral Jakarta dan Gereja Imanuel.
Ijinkan saya keluar sejenak dari topik pembicaraan. Katedral Jakarta menurut saya lebih megah dan indah dibandingkan dengan Katedral Manila. Perlu kita ketaui Filipina adalah negara berpenduduk Katolik terbesar di Asia. Kalau saya jadi warga Manila, saya akan cemburu kepada umat Katolik Jakarta. Lalu Gereja Imanuel juga sama megahnya. Jangan tanya kemegahan Masjid Istiqlal (yang arsiteknya non-Muslim). Bisa jadi Istiqlal merupakan masjid terbesar di luar Mekah dan Madinah. Allahu Akbar!
Kembali pada konteks "belajar dari sejarah" di atas. Pastinya bukan tanpa maksud jika para Pendiri Negeri ini mendirikan Masjid Istiqlal di dekat Katedral Jakarta dan Gereja Imanuel. Juga bukan tanpa maksud di TMII semua rumah ibadah ditempatkan berdekatan. Itu semua, mereka maksudkan agar kita selalu rukun.
Sejarah praktik pemerintahan kita juga memberikan pelajaran berharga bagi kita semua. Sejak di era Suharto, kabinet kita selalu diisi menteri-menteri dari beragam suku/etnis dan agama. Hal ini meningkat di era Reformasi, yang ditandai dengan munculnya menteri-menteri dari etnis Tionghoa. Tidak semua negara bisa seberagam itu dari sisi etnis/suku dan agama.
Apakah bangunan dan pemerintahan dapat disebut unsur sejarah? Entahlah, saya tidak sempat bertanya kepada ahli sejarah. Namun bagi saya hal itu merupakan masa lalu yang layak dicatat (baca: dianggap sebagai sejarah). Mari kita belajar dari para pendahulu kita, bagaimana mereka mendekatkan rumah ibadah dan bagaimana mereka menyusun keberagaman dalam kabinet. Jika kita dapat mempelajarinya dengan baik, maka riak-riak lontaran opini SARA di Pemilukada DKI itu tidak akan berubah menjadi gelombang besar apa lagi tsunami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H