Pernahkah Anda membuat surat undangan pernikahan? Dimana mencetaknya? Kalau Anda tinggal di sekitar Pancoran, Jakarta Selatan, pasti akan mencetaknya di Pasar Tebet. Ada banyak percetakan kartu undangan di lantai bawah Pasar Tebet. Di kota lain, pasti ada banyak percetakan seperti itu. Namun, percetakan yang seperti itu adalah percetakan kecil. Percetakan besar seperti Gramedia, Granesia, Gelora Aksara Pratama, Ghalia Indonesia Printing, Temprint, Temprina, Karya Kita, Macanan, dan percetakan besar lainnya juga banyak tersebar di bumi Nusantara ini.
Ketika Anda membuat kartu undangan, siapakah yang menentukan isi kartu undangan? Ya! pasti kita sendiri yang menentukan kata-katanya. Kita ketik di komputer, lalu file-nya kita serahkan ke percetakan. Kita sampaikan jenis kertas, ukuran kertas, pelipatan kertas, jenis huruf, dan ukuran huruf yang kita inginkan kepada percetakan. Lalu percetakan merancangnya, membuat dummy/proof, meminta persetujuan dari kita, baru mereka mencetaknya (memperbanyaknya atau menggandakannya).
Dari ilustrasi di atas, kita bisa membedakan mana pemilik kartu undangan, dan mana pencetak kartu undangan. Siapakah yang bertanggung jawab atas isi kartu undangan? Tentunya kita, sebagai pemesan kartu undangan. Kita sendiri juga yang akan menyebarkan kartu undangan tersebut. Kita juga yang akan mempersiapkan resepsi sesuai tanggal dan tempat resepsi sebagaimana yang tertulis di kartu undangan.
Di dalam dunia penerbitan buku, prosesnya boleh dikatakan sedikit mirip lah dengan ketika kita membuat kartu undangan. Pihak yang mencetak (dan menjilid) buku adalah percetakan. Sementara itu, yang menyiapkan isi dan memesan pencetakannya adalah penerbit. Jadi, penerbit dan percetakan adalah dua pihak yang berbeda, bahkan kebanyakan adalah dua perusahaan yang berbeda.
Saat ini kita telah memasuki zaman internet, dimana buku bisa kita baca melalui dua media, yakni buku yang berupa lembaran-lembaran kertas dan buku yang tersimpan di media elektronik (yaitu eBook). Baik buku kertas maupun eBook, sama-sama ada penerbitnya. Apakah penerbitnya itu sebuah perusahaan, yayasan, organisasi, atau perorangan (indie), itu sah-sah saja. Satu hal yang jelas, ada penerbitnya.
Penerbitlah yang merencanakan akan menerbitkan buku apa. Penerbit yang mencari (atau dicari) penulis untuk bekerja sama mewujudkan sebuah naskah menjadi buku/naskah yang siap cetak. Setelah bersepakat dengan penulis, naskah tersebut disunting/diedit oleh editor/penyunting, lalu didesain (di-setting) oleh desainer/setter, kemudian dikoreksi oleh korektor. Setelah beberapa kali dikoreksi dan mengalami penyempurnaan desain, naskah tadi menjadi buku yang siap untuk dicetak/diperbanyak/digandakan.
Naskah yang telah menjadi buku yang siap cetak tadi, kemudian dibawa ke percetakan oleh penerbit. Sang penerbit menyampaikan spesifikasi yang diinginkan, seperti ukuran buku, jenis kertas, jenis kertas jilid, pewarnaan, dan jenis penjilidan. Percetakan lalu mengerjakan pencetakan dan penjilidannya. Setelah selesai, lalu penerbit membayar ongkos cetaknya ke percetakan tersebut, baru kemudian buku dikirim ke penerbit atau diambil penerbit. Setelah itu, buku dikirim ke distributor atau langsung ke toko buku oleh penerbit.
Untuk buku-buku yang dijadikan eBook, si penerbit tinggal mengubah mengubah file ke format tertentu (biasanya ke format PDF atau ePub), lalu dikirimkan ke eBookStores atau “toko” eBook. Di sini kita dapat melihat bahwa beda buku konvensional (buku yang dicetak) dengan eBook hanya di proses perbanyakan saja. Penerbit tinggal memilih apakah bukunya akan dicetak atau dijadikan eBook. Buku konvensional diperbanyak di percetakan, sementara itu untuk eBook yang diperbanyak adalah aksesnya.
Dari uraian-uraian di atas, kita mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai perbedaan peranan penerbit dan percetakan. Penerbit menyiapkan naskah hingga siap cetak. Percetakan memperbanyak naskah yang siap cetak tersebut. Isi buku itu tetap menjadi tanggung jawab penerbit (dan penulis). Percetakan hanya diperintahkan oleh penerbit untuk mencetak/memperbanyaknya. Lalu penerbit membayar ongkos jasa pencetakan/penggandaan tersebut. Penerbit itu karyawan utamanya adalah para editor/penyunting dan desainer/setter buku. Percetakan itu isinya mesin cetak dan mesin jilid.
Di Indonesia, dilihat dari hubungannya dengan kegiatan pencetakan, penerbit dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok. Penerbit yang tidak memiliki mesin cetak adalah kelompok pertama. Penerbit-penerbit di kelompok pertama ini biasanya memiliki mitra kerja perusahaan percetakan, tapi biasanya tidak ada ikatan permanen dalam kemitraan tersebut. Artinya, penerbit-penerbit ini bisa memutuskan mencetak di percetakan mana saja, dengan pertimbangan harga, mutu, dan kapasitas percetakan. Kemitraan ini benar-benar kemitraan dua buah badan usaha yang berbeda dan tidak dalam sebuah grup bisnis. Mayoritas penerbit di Indonesia adalah seperti ini. Bahkan di luar negeri juga kebanyakan seperti ini. Banyak sekali kita lihat buku-buku terbitan penerbit Amerika Serikat yang dicetak di Kanada (printed in Canada, begitu tertulis di lebaran awal bukunya)
Kelompok kedua adalah penerbit-penerbit yang memiliki mesin cetak. Biasanya penerbit-penerbit di kolompok ini memiliki divisi cetak dan divisi penerbitan. Kedua divisi ini berada di bawah satu perusahaan (badan usaha) yang sama. Tidak banyak penerbit yang seperti ini di Indonesia.
Kelompok ketiga adalah penerbit yang berada dalam sebuah grup perusahaan, di mana di dalam grup tersebut ada perusahaan penerbitan, perusahaan percetakan, dan perusahaan lainnya (misalnya surat kabar, majalah, dll). Kelompok ketiga ini juga tidak terlalu banyak. Kurang lebih jumlahnya sama dengan kelompok kedua. Artinya, kebanyakan penerbit di Indonesia tidak memiliki hubungan permanen (kecuali ketika memesan cetak) dengan percetakan.
Jadi, boleh dikatakan bahwa penerbit berbeda dengan percetakan. Kebetulan penulis adalah karyawan sebuah penerbit buku. Penerbit tersebut berada dalam sebuah grup perusahaan yang memiliki percetakan. Nama penerbit tempat penulis bekerja berbeda dengan nama percetakan yang dinaungi grup perusahaan tersebut. Keduanya tercetat di Negara sebagai dua badan usaha yang berbeda (dua PT yang berbeda). Direksinya pun berbeda, apa lagi karyawannya.
Artinya, penulis hanya bisa berpindah posisi jabatan di perusahaan penerbit buku tempat penulis bekerja, tidak bisa tiba-tiba menempati posisi jabatan di perusahaan percetakan yang berada di satu grup perusahaan tersebut. Bahkan, jika berkunjung ke percetakaan tersebut, misalnya untuk menyampaikan keberatan (complaint) atas mutu cetak, penulis diperlakukan sebagai tamu. Percetakan tersebut juga tidak hanya menerima pesanan/order cetakan dari penerbit tempat penulis bekerja, tapi juga dari beberapa penerbit lain, termasuk beberapa penerbit majalah.
Penulis menyampaikan hal ini untuk memperkuat pemahaman kita akan perbedaan penerbit dengan percetakan. Mengapa hal ini penulis paparkan? Karena penulis merasa prihatin, hingga di zaman eBook ini masyarakat belum bisa membedakan penerbit dengan percetakan. Beberapa teman dan kerabat juga jika bertemu dengan penulis, biasanya bertanya, “masih kerja di percetakan?” Sebetulnya saya kurang nyaman dengan pertanyaan tersebut, karena saya bekerja di industri penerbitan, bukan industri percetakan. Namun saya jawab dengan senyum, “Masih, di penerbit buku, bukan percetakan.”
Pertanyaan lain yang sering dialamatkan kepada penulis adalah, “Gimana, masih di penerbit? Kan sekarang zaman eBook, gak takut buku lenyap dari peredaran?” Jika ada teman yang bertanya seperti ini, maka penulis harus panjang lebar menerangkan bahwa penerbit itu menerbitkan buku, dan terserah penerbit akan memperbanyak di percetakan sebagai buku cetak (konvensional) atau mengunduhnya ke eBookStores (toko buku elektronik). eBook itu kan buku juga, kalau bukan buku, tidak akan dinamai eBook. Artinya, masyarakat masih “menyatukan” antara penerbit dan percetakan, padahal merupakan dua jenis industri yang berbeda.
Di dunia industri, penerbitan dimasukkan ke jenis industri kereatif. Industri-industri lain yang diklasifikasikan sebagai industri kreatif ini misalnya perangkat lunak (software), film, musik, kerajinan, periklanan, dll. Sementara itu, percetakan masuk ke dalam industri manufaktur, sama dengan industri penggandaan keping CD. Setidaknya itulah pemahaman penulis. Parahnya, masyarakat hanya menganggap industri kerajinan saja yang termasuk industri kreatif.
Penulis berpendapat bahwa penting sekali bagi masyarakat untuk dapat membedakan penerbit dengan percetakan. Hal ini sama pentingnya bagi masyarakat untuk bisa membedakan antara arsitek dan insinyur sipil, atau antara perusahaan studio rekaman dengan perusahaan penggandaan keping CD, atau antara perusahaan surat kabar/majalah dengan percetakan, atau antara rumah produksi (production house) dengan stasiun televisi.
Bagi sebagian pihak, dengan kepentingan masing-masing, barangkali perbedaan ini tidak terlalu penting. Namun bagi kami, para pekerja industri penerbitan (editor, korektor, desainer isi buku, desainer sampul/kulit buku, ilustrator , staf promosi buku, dll), hal ini penting sekali. Para pekerja di industri percetakan adalah saudara-saudara kami juga. Namun, membedakan penerbitan dan percetakan ini penting. Izinkan penulis memberikan ilustrasi berikut ini.
Katakanlah ada sebuah yayasan yang peduli dengan kebutuhan bacaan bagi anak-anak Indonesia. Mereka berencana memberikan buku bacaan gratis untuk anak-anak panti asuhan. Yayasan tersebut kemudian memfasilitasi sejumlah penulis buku cerita anak untuk menulis naskah buku bacaan/cerita anak. Kemudian Yayasan tersebut melakukan proses editing/penyuntingan dan setting naskah-naskah tersebut hingga menjadi sebuah buku/naskah yang siap cetak. Dengan kata lain, Yayasan tersebut menjadi penerbit buku-buku tersebut.
Kemudian Yayasan tersebut membuka kesempatan kerja sama kepada semua pihak untuk memperbanyak naskah-naskah yang telah siap cetak itu. Beberapa percetakan mengajukan diri, dan kemudian terpilih lah beberapa percetakan yang ditunjuk untuk penggandaan buku-buku untuk anak-anak tersebut dengan harga yang disepakati.
Lalu ternyata beberapa percetakan tidak dapat menyelesaikan pekerjaan yang dipesan si Yayasan pada waktunya. Kemudian Yayasan meminta maaf kepada panti-panti asuhan yang telah meraka janjikan akan diberi buku gratis. Yayasan menyampaikan kepada para pengurus panti-panti asuhan bahwa penerbit yang mereka tunjuk untuk menggandakan buku tidak dapat memenuhi janji sesuai waktu yang telah ditetapkan.
Penyebutan “penerbit” oleh Yayasan (karena Yayasan tersebut kebetulan tidak dapat membedakan penerbit dengan percetakan), akan membawa dampak luas bagi dinamika industri penerbitan dan percetakan. Bayangkan saja, yang melakukan wanprestasi adalah percetakan, tapi yang disalahkan adalah penerbit. Bisa saja percetakan yang ditunjuk yayasan tersebut memang satu grup dengan perusahaan penerbitan, tapi tetap saja itu dua perusahaan yang berbeda, dua industri yang berbeda.
Jika ada pihak lain yang menangkap pernyataan Yayasan tadi sebagai sebuah isyarat perbaikan, maka pihak tersebut akan berusaha memperbaiki kinerja para penerbit, bukan kinerja industri percetakan. Lha ini kan jadinya salah sasaran. Jika pernyataan Yayasan tadi dikutip media, maka akan muncul citra negatif industri penerbitan di mata masyarakat. Ini berbahaya. Lamaran seorang editor kepada gadis idamannya akan ditolak calon mertua lantaran takut anaknya jadi istri seorang karyawan yang bekerja di industri yang kinerjanya dipandang rendah di masyarakat, yang beruntung malah karyawan percetakan (maaf, penulis bercanda sedikit).
Intinya, masyarakat (dan tentunya Negara juga) harus dapat membedakan industri penerbitan dan industri percetakan. Hal ini penting, mengingat SDM keduanya berbeda, input dan output keduanya berbeda. Jika ada kekurangan di jenis industri tententu, Negara akan mudah mengidentifikasinya, sehingga perbaikan/pembinaan tidak menjadi salah sasaran.
Jika ada keterlambatan pencetakan, maka yang harus diidentifikasi adalah apakah mesinnya yang kurang atau shop_floor_management yang harus disempurnakan, misalnya. Jika keterlambatan itu ada di penerbitan, maka yang harus diidentifikasi adalah keterampilan para editor atau jangan-jangan komputernya yang ketinggalan jaman. Di sini lah pentingnya membedakan dua hal yang nyata sekali bedanya!
Penulis merasa bahwa masyarakat dan Negara harus dapat membedakan penerbit dengan percetakan. Terus terang, sebagai pekerja industri penerbitan, penulis prihatin jika ada keterlambatan di pencetakan, tapi yang disalahkan adalah penerbit. Kami tidak terlibat, tapi kami yang dituduh bersalah. Kami, para pekerja industri penerbitan, merasa sedih! (Djadja Subagdja, editor penerbit buku)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H