Mohon tunggu...
Kompasiana Cibinong
Kompasiana Cibinong Mohon Tunggu... Guru - Kompasiana Cibinong, menulis berita dan cerita dalam bahasa Sunda dan Indonesia

Kompasiana Cibinong, menulis berita dan cerita dalam bahasa Sunda dan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

81 Tahun Pelukis Mata Hitam dan Jalan Kesederhanaan Jeihan

29 September 2019   07:45 Diperbarui: 29 September 2019   10:54 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: Indonesia.go.id

Banyak jalan menuju Tuhan. Tak kecuali meretas jalan kesenian. Apa lagi Tuhan itu Maha Indah dan mencintai keindahan. Lebih dari lima puluh satu tahun keindahan dalam dimensi seni sudah digeluti Jeihan Sukmantoro sebagai sebuah panggilan hati sekaligus profesi untuk menghidupi anak, istri, dan orang-orang di sekelilingnya yang memerlukan uluran hati.

Jeihan adalah salah satu penanda seni bahwa Bandung dari baheula hingga ayeuna selalu menyumbangkan sesuatu yang mulia untuk dunia. Sebuah sumbangsih nyata dari penggiat budaya yang membuat Bandung makin indah dan harum ke seluruh penjuru arah.    

Sejatinya keindahan bukan berarti identik dengan kemewahan atau kegemerlapan. Menurut pesastra dan perupa Jeihan Sukmantoro, untuk mengada cukup mengelola hal-hal yang dianggap sederhana. Sebaliknya, bila dihebat-hebatkan atau menganeh-anehkan yang terjadi malah tampak mengada-ngada.

Karena yang mengada-ngada biasanya mengingkari potensi dan jati diri. Terkadang malah terlampau mengadopsi budaya luar negeri. Memang, untuk tunduk dan menghormati jati diri memerlukan waktu panjang, ketekunan, dan keikhlasan yang berkesinambungan sepanjang zaman.

Zaman silih berganti, tetapi semangat eksplorasi dan inovasi tiada henti. Hal itu pula, saya pikir, yang didawamkan seniman Jeihan sehingga bisa menemui jalan menuju Tuhan.

Jeihan yang lahir di Surakarta 26 September 1938 karier kesenimanannya dirintis sejak usia belasan tahun. Jeihan sempat menjadi pedagang kaki lima dan menggelandang di emperan-emperan kota Bandung. 

Namun, lebih dari 51 tahun bidang utama yang terus menghidupi dan dihidupinya adalah sastra dan seni rupa. Prestasi formal yang sudah tercatat di antaranya anugerah seni-budaya dari Pemkot Bandung dan Pemprov Jabar. 

Ini menandaan  urang Sunda, warga Jawa Barat, mengakui dan menghormati kiprah dan prestasi Jeihan yang sehari-hari tinggal di Padasuka Bandung. Keunikan lain, Jeihan yang mesti lebih banyak menetap di Kota Bandung, tetapi beliau tidak melupakan identitas kejawaannya. Lebih fantatis lagi, Jeihan termasuk individu yang terdaftar dalam buku berjudul Apa-Siapa Orang Sunda (2003).

Foto: lelang-lukisanmaestro.blogspot.com
Foto: lelang-lukisanmaestro.blogspot.com

Titik dan Hitam
Beberapa tahun yang lalu, saya berkesempatan betemu dengan beliau di studionya, di Pasirlayung, Jalan Padasuka Bandung. Jeihan mengatakan, kesenian itu perlu kesederhanaan. Terpenting mengerti esensi. Esensi seni rupa adalah titik. 

Dasar dari seni rupa berupa warna, garis, bidang atau tekstur memerlukan titik. Membuat garis atau bentuk sekalipun memerlukan titik awal dan titik akhir. Semuanya bermula dan berakhir dengan titik.

Sebab itu jangan sampai melupakan titik. Sebab titik meski, mungkin, sederhana, akan tetapi amat memengaruhi kesatuan makna. Titik sebagai pengingat. Tak ada lukisan jika tidak ada titik mula. Lukisan tak akan pernah selesai tanpa menentukan titik akhir.

Kesadaran menghormati esensi alias titik tecermin dari lukisan Jeihan yang juga sederhana. Lukisan-lukisannya tak menghadirkan banyak warna. Tidak sedikit lukisan-lukisannya hanya mengandalkan warna putih dan hitam.

Meski sederhana, dengan bantuan ciri mandiri lukisan Jeihan berupa mata bolong-hitam, lukisan-lukisannya yang umumnya figuratif perempuan, malah terlihat elegan, enak dipandang, sekaligus misterius.

Jeihan beralasan, hitam bukan berati seram. Hitam adalah kumpulan warna kehidupan yang memang penuh misteri. Sebab jalan kehidupan seseorang tiada yang pasti. Kita hanya wajib agar tekun dalam mencari jalan dan menyukuri sesuatu yang sudah didapatkan.

Atas kemisterian menyebabkan lukisan-lukisan Jeihan diburu banyak orang. Karena lukisan mata bolong-hitam pula banyak orang yang ingin dilukis Jeihan. Sebab kemisterian dan kesederhanaan pula harga lukisan Jeihan makin melangit.        

Akan tetapi, meski Jeihan sudah mapan, namun keseharian Jeihan dan keluarga tetap mengedepankan kesederhanaan. Sebab kekayaan yang dimilikinya hanya titipan. Suatu saat akan ditinggalkan. Pada titik ini sejak tahun 1974 Jeihan sudah berpesan dalam sajak Kembali


dari gumpalan tanah
jadi gumpalan darah
jadi gumpalan nanah
dari tanah ke tanah      

Salam kebersamaan
Saya pikir, kehidupan yang disimpulkan Jeihan dengan mantra kesederhanaan merupakan buah dari perenungan yang sinambung dan mendalam. Jeihan berusaha terus mengingat akan titik awal dan titik akhir kehidupan.

Tentu saja untuk menempuh jalan itu kecil kemungkinan dilakukan sendirian. Religiositas dan spiritualitas seseorang membutuhkan pengertian dengan setiap insan. 

Antarmanusia meniscayakan sikap yang tepo seliro, tenggang rasa, alias saling memahami dan menghormati.
Ya, seperti sajak Jeihan berjudul Salam yang direka tahun 1972:


haiku
hai kita

Salam merupakan upaya pertama untuk saling mengenali. Salam adalah doa pertama agar diberkati keselamatan. Meski ada aku, ada mereka tetapi yang dikedepankan adalah kebersamaan. Kekitaan. Bukan kebencian, bukan kekerasan. Milikku, milikkmu juga. Rasamu, rasaku juga. Kata pesajak Chairil Anwar, Kau dan aku satu zat satu urat.

Menegaskan hal itu dalam melakoni dunia keseharian Jeihan berpesan agar kita terus Syukur dan Tafakur: mari kita cuci/ diri kita dengan/ peluh sendiri/ di siang hari// dan/ mari kita basuh/ hati kita dengan/ air mata sendiri/ di malam hari.

Materialisme bukanlah segala-galanya. Diperlukan keseimbangan. Duniawi dan ukhrawi sama-sama penting. Berserah diri sebagai jalan Ketuhanan berarti tetap memuliakan kemanusiaan. Untuk menempuhnya, jalan kesenian bisa dijadikan pilihan.

Jeihan Sukmantoro sudah dan sedang menempuhnya dengan menekuni dua jenis seni. Maka, lahirlah pengakuan darinya yang berbunyi Kaki kanan saya seni rupa, kaki kiri saya sastra, dengan keduanya saya menuju langit.

Itulah contoh nyata arti konsistensi. Sebuah ide sekaligus perjuangan yang mesti menjadi inspirasi bagi setiap insan yang memuliakan makna ketuhanan, kehidupan, dan kesederhanaan. Itulah cara yang diretas  Jeihan dan Bandung menjadi saksi perjalanan yang tak terpisahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun