Banyak jalan menuju Tuhan. Tak kecuali meretas jalan kesenian. Apa lagi Tuhan itu Maha Indah dan mencintai keindahan. Lebih dari lima puluh satu tahun keindahan dalam dimensi seni sudah digeluti Jeihan Sukmantoro sebagai sebuah panggilan hati sekaligus profesi untuk menghidupi anak, istri, dan orang-orang di sekelilingnya yang memerlukan uluran hati.
Jeihan adalah salah satu penanda seni bahwa Bandung dari baheula hingga ayeuna selalu menyumbangkan sesuatu yang mulia untuk dunia. Sebuah sumbangsih nyata dari penggiat budaya yang membuat Bandung makin indah dan harum ke seluruh penjuru arah. Â Â
Sejatinya keindahan bukan berarti identik dengan kemewahan atau kegemerlapan. Menurut pesastra dan perupa Jeihan Sukmantoro, untuk mengada cukup mengelola hal-hal yang dianggap sederhana. Sebaliknya, bila dihebat-hebatkan atau menganeh-anehkan yang terjadi malah tampak mengada-ngada.
Karena yang mengada-ngada biasanya mengingkari potensi dan jati diri. Terkadang malah terlampau mengadopsi budaya luar negeri. Memang, untuk tunduk dan menghormati jati diri memerlukan waktu panjang, ketekunan, dan keikhlasan yang berkesinambungan sepanjang zaman.
Zaman silih berganti, tetapi semangat eksplorasi dan inovasi tiada henti. Hal itu pula, saya pikir, yang didawamkan seniman Jeihan sehingga bisa menemui jalan menuju Tuhan.
Jeihan yang lahir di Surakarta 26 September 1938 karier kesenimanannya dirintis sejak usia belasan tahun. Jeihan sempat menjadi pedagang kaki lima dan menggelandang di emperan-emperan kota Bandung.Â
Namun, lebih dari 51 tahun bidang utama yang terus menghidupi dan dihidupinya adalah sastra dan seni rupa. Prestasi formal yang sudah tercatat di antaranya anugerah seni-budaya dari Pemkot Bandung dan Pemprov Jabar.Â
Ini menandaan  urang Sunda, warga Jawa Barat, mengakui dan menghormati kiprah dan prestasi Jeihan yang sehari-hari tinggal di Padasuka Bandung. Keunikan lain, Jeihan yang mesti lebih banyak menetap di Kota Bandung, tetapi beliau tidak melupakan identitas kejawaannya. Lebih fantatis lagi, Jeihan termasuk individu yang terdaftar dalam buku berjudul Apa-Siapa Orang Sunda (2003).
Titik dan Hitam
Beberapa tahun yang lalu, saya berkesempatan betemu dengan beliau di studionya, di Pasirlayung, Jalan Padasuka Bandung. Jeihan mengatakan, kesenian itu perlu kesederhanaan. Terpenting mengerti esensi. Esensi seni rupa adalah titik.Â
Dasar dari seni rupa berupa warna, garis, bidang atau tekstur memerlukan titik. Membuat garis atau bentuk sekalipun memerlukan titik awal dan titik akhir. Semuanya bermula dan berakhir dengan titik.
Sebab itu jangan sampai melupakan titik. Sebab titik meski, mungkin, sederhana, akan tetapi amat memengaruhi kesatuan makna. Titik sebagai pengingat. Tak ada lukisan jika tidak ada titik mula. Lukisan tak akan pernah selesai tanpa menentukan titik akhir.