Perjalanan demokrasi di negeri ini masih sangat dini, oleh karenanya masyarakat Indonesia harus mendapat pendidikan politik yang benar dan baik. Tugas itu amat strategis jika dimulai dan dilaksanakan oleh kalangan internal parpol. Karena parpolah, yang saat ini amat menentukan perjalanan ketatanegaraan.
Namun, kepercayaan dan kebebasan luas yang diberikan rakyat pada wakil rakyat, terutama di lingkungan parpol, hingga ayeuna belum berjalan dengan semestinya. Dalam menghadapi pilkada para elite parpol hanya mempraktikkan cara-cara lama yang hampa makna dan miskin realita. Malah cendrung merugikan masyarakat dan lingkungan.
Â
Rusak Alam Semesta
Terlalu naif jika mengatakan korban pilkada hanya dialamatkan kepada segelintir elite yang tidak terpilih untuk ikut kontestasi. Terlalu kekanak-kanakan jika menyatakan korban pilkada hanya dialamatkan pada kekalahan para bakal dan calon berikut kader dan simpatisannya dari keunggulan saingannya. Lebih dari itu, korban pilkada adalah alam semesta.
Lihatlah pepohonan. Dahan dan dedaunan dijadikan korban paku, tambang, dan baliho. Tengoklah tiang listrik dan tembok rumah warga, dipenuhi tambang, stiker, dan poster. Bagaimana pula kondisi taman dan rerumputan saat dinjak-injak lautan massa.
Lihatlah, jala-jalan di hampir seluruh wilayah masih dikotori atribut parpol. Baligo super besar yang menampilkan para pasang calon beserta ketua parpol ngajeblag di mamana. Spanduk bertebaran di unggal parapatan. Liciknya, mereka engeuh, memasang baliho dan spanduk di sembarang tempat bisa langsung dicabut aparat, namun mengakalinya dibuatlah posko tim sukses atau parpol pengusung di setiap gang atau simpangan jalan. Maka, hanya jarak beberapa meter saja berdiri ribuan posko-posko parpol lengkap dengan atributnya.
Di antara atribut parpol dalam gelaran pilkada yang paling berbahaya adalah pamflet dan stiker. Sebab, selain dipasang di sembarang tempat, ketahannanya pun berlangsung lama. Tidak aneh, jika pamflet atau stiker pasangan calon presiden yang ditempelkan tiga tahun ke belakang hingga kiwarimasih mengotori dingding-dingding rumah, pagar, halte, atau di tempat fasilitas umum lainnya, yangkebanyakan pemasangannya tidak meminta izin terlebih dahulu pada pemilik bangunan.
Mirisnya lagi, seperti terjadi di beberapa daerah, meski saat masa tenang, sejumlah petugas satpol PP dihalang-halangi ketika akan membersihkan alat peraga kampanye. Brndlan aturan yang dirancang KPU, Bawaslu, Panwaslu, Panwascam tidak mereka indahkan. Tunggul dirarud catang dirumpak. Bersikap kumaha dwk. Maka, hingga gelaran pilkada usai, atribut kampanye masih dengan mudah ditemui di berbagai tempat.
Itu korban yang terlihat kasat mata. Dalam ranah lain, korban pilkada tetap menyeruak. Termasuk dalam istilah-istilah penuh angin surga, cenderung jargonis dan banalistis. Karena gelaran pilkada yang dihadapi dengan sempit pula maka di antara kita begitu tanpa dosa menuduh: antipancasila, antek PKI, bentak ulama dan pemerintah, kafir, dan istilah-istilah yang cenderung menganggap orang lain harus salah dan buruk.
Di sinilah dan saat inilah peran parpol untuk mengubah kebiasaan buruk tersebut. Jangan terus dibiarkan fasilitas umum dikotori tangan-tangan jahil tak bertanggung jawab. Jangan dikembangbiakkan ujaran kebencian di berbagai media. Di manakah nurani dan keluhuran budi bangsa kita?