Mohon tunggu...
Kompasiana Cibinong
Kompasiana Cibinong Mohon Tunggu... Guru - Kompasiana Cibinong, menulis berita dan cerita dalam bahasa Sunda dan Indonesia

Kompasiana Cibinong, menulis berita dan cerita dalam bahasa Sunda dan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Catatan Pascapilkada 2017, Banjir Janji dan Banyak Korban

18 Juli 2019   09:46 Diperbarui: 18 Juli 2019   09:59 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

  (foto: megapolitan.kompas.com)

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahap II, pada Rabu 15 Februari 2017, dilaksanakan di 101 daerah di Indonesia. Pada hari libur nasional itu bangsa kita memilih bupati, walikota, dan gubernur. Rinciannya pemilihan gubernur berlangsung di Propinsi Aceh, Bangka Belitung, Banten, DKI Jakarta, Sulawesi Barat, Gorontalo dan Papua Barat. Pemilihan Bupati dilaksanakan di 76 kabupaten. Sedangkan Pemilihan Walikota digelar di 18 kota.

Lantas, selama masa sosialisasi pilkada, pendaftaran, verifikasi, penetapan, hingga masa kampanye, masa tenang, dan sesudah hari pemungutan seuara, apa yang sudah disuguhkan tim pasangan calon dan apa yang nyata berasa di lapangan?

Untuk menjawab itu mari kita merenung sejenak. Pilkada hingga hari ini oleh sebagian masyarakat Indonesia hanya disikapi dan dimanfaatkan sebagai sebuah pesta sesaat belaka. Alih-alih menghasilkan pemimpin terbaik, nyatanya menambah permasalahan negara kian banyak dan pelik.

Hingga sekarang, pilkada di seluruh wilayah Indonesia nyaris semuanya bermasalah. Terlebih bagi tim pasangan calon yang belum mendapatkan amanah dari calon rakyatnya. Pun begitu dengan kualitas dan kuantitas penyelenggara Pilkada dari KPPS, PPK, hingga KPUD di berbagai tempat ditemui berbagai kejanggalan yang berujung pada pemungutasn suara ulang. Banten dan DKI Jakarta yang berada di pusat kekuasaan Indonesia pun tak luput dari hal-hal yang mendasar semacam tidak diantisipasinya ketersedian surat suara serta kurangnya pemhamanan para penyelenggara Pilkada.

 

Ujaran kebencian

Pilkada pun dijadikan media untuk saling menyalahkan. Kita tentu tahu di media sosial begitu besar banjir fitnah dan merasa paling benar. Mereka tanpa malu-malu dan tidak bertanggung jawab menyudutkan dan menyalahkan dengan sangat mudah. Ujaran kebencian selalu dihamburkan 24 jam non-stop. Itulah aksi anyar dalam jurus kampanye hitam. Karena pilkada pula, aksi kekerasan terus mengemuka.

Oleh karena itu, membaca gerak dan perkembangan pilkada yang sudah, sedang, dan akan berlangsung sangat beralasan jika sebagian masyarakat Indonesia memandangnya begitu sinis, pesimis, bahkan cendrung apatis. Celakanya, sikap sinis, apatis dan pesimis masyarakat seperti itu oleh para elite poltik tidak dibaca secara cermat, cepat, cerdik, dan cerdas.

Kekisruhan di Pilkada sejatinya mulai berasa ketika proses pemilihan di internal parpol. Bukan berita anyar adanya mahar dan iming-iming agar jagoannya diusung parpol tertentu. Belum lagi urusan investor yang akan membiayai pesta demokrasi tersebut. Ini, jika calon pemimpin itu kebetulan terpilih, mau tak mau mesti mengganti dengan nilai lebih kepada cukongnya.

Memang, dalam setiap mengambil keputusan adalah suatu hal yang mustahil untuk memuaskan kehendak semuanya. Namun, permasalahan tidak berhenti sampai situ, yang lebih penting adalah menyikapi keputusan tersebut dengan penuh kedewasaan. Sebab, gesekan dan pertentangan yang terjadi dalam tubuh parpol kerap menjalar ke lapisan akar rumput. Nu leutik deui nu jadi korban mah.

Perjalanan demokrasi di negeri ini masih sangat dini, oleh karenanya masyarakat Indonesia harus mendapat pendidikan politik yang benar dan baik. Tugas itu amat strategis jika dimulai dan dilaksanakan oleh kalangan internal parpol. Karena parpolah, yang saat ini amat menentukan perjalanan ketatanegaraan.

Namun, kepercayaan dan kebebasan luas yang diberikan rakyat pada wakil rakyat, terutama di lingkungan parpol, hingga ayeuna belum berjalan dengan semestinya. Dalam menghadapi pilkada para elite parpol hanya mempraktikkan cara-cara lama yang hampa makna dan miskin realita. Malah cendrung merugikan masyarakat dan lingkungan.

 

Rusak Alam Semesta

Terlalu naif jika mengatakan korban pilkada hanya dialamatkan kepada segelintir elite yang tidak terpilih untuk ikut kontestasi. Terlalu kekanak-kanakan jika menyatakan korban pilkada hanya dialamatkan pada kekalahan para bakal dan calon berikut kader dan simpatisannya dari keunggulan saingannya. Lebih dari itu, korban pilkada adalah alam semesta.

Lihatlah pepohonan. Dahan dan dedaunan dijadikan korban paku, tambang, dan baliho. Tengoklah tiang listrik dan tembok rumah warga, dipenuhi tambang, stiker, dan poster. Bagaimana pula kondisi taman dan rerumputan saat dinjak-injak lautan massa.

Lihatlah, jala-jalan di hampir seluruh wilayah masih dikotori atribut parpol. Baligo super besar yang menampilkan para pasang calon beserta ketua parpol ngajeblag di mamana. Spanduk bertebaran di unggal parapatan. Liciknya, mereka engeuh, memasang baliho dan spanduk di sembarang tempat bisa langsung dicabut aparat, namun mengakalinya dibuatlah posko tim sukses atau parpol pengusung di setiap gang atau simpangan jalan. Maka, hanya jarak beberapa meter saja berdiri ribuan posko-posko parpol lengkap dengan atributnya.

Di antara atribut parpol dalam gelaran pilkada yang paling berbahaya adalah pamflet dan stiker. Sebab, selain dipasang di sembarang tempat, ketahannanya pun berlangsung lama. Tidak aneh, jika pamflet atau stiker pasangan calon presiden yang ditempelkan tiga tahun ke belakang hingga kiwarimasih mengotori dingding-dingding rumah, pagar, halte, atau di tempat fasilitas umum lainnya, yangkebanyakan pemasangannya tidak meminta izin terlebih dahulu pada pemilik bangunan.

Mirisnya lagi, seperti terjadi di beberapa daerah, meski saat masa tenang, sejumlah petugas satpol PP dihalang-halangi ketika akan membersihkan alat peraga kampanye. Brndlan aturan yang dirancang KPU, Bawaslu, Panwaslu, Panwascam tidak mereka indahkan. Tunggul dirarud catang dirumpak. Bersikap kumaha dwk. Maka, hingga gelaran pilkada usai, atribut kampanye masih dengan mudah ditemui di berbagai tempat.

Itu korban yang terlihat kasat mata. Dalam ranah lain, korban pilkada tetap menyeruak. Termasuk dalam istilah-istilah penuh angin surga, cenderung jargonis dan banalistis. Karena gelaran pilkada yang dihadapi dengan sempit pula maka di antara kita begitu tanpa dosa menuduh: antipancasila, antek PKI, bentak ulama dan pemerintah, kafir, dan istilah-istilah yang cenderung menganggap orang lain harus salah dan buruk.

Di sinilah dan saat inilah peran parpol untuk mengubah kebiasaan buruk tersebut. Jangan terus dibiarkan fasilitas umum dikotori tangan-tangan jahil tak bertanggung jawab. Jangan dikembangbiakkan ujaran kebencian di berbagai media. Di manakah nurani dan keluhuran budi bangsa kita?

Okelah, untuk Pilkada serentak tahap III pada tahun 2018, termasuk di Jawa Barat, banjir janji dalam visi-misi dan program-program pasangan calon kepala daerah secara umum saya percaya akan tetap bagus-bagus. Tetapi, tolong, beri harapan itu sejak dini.  Berilah rakyat sebuah pendewasaan dan pencerahan.

Yakini calon pemilih dengan indikasi-indikasi yang lebih mendekati ke intisari demokrasi. Jangan jadikan Pilkada sebagai kontestasi banjir janji. Jangan biarkan pilkada sarana kompetisi untuk memakan banyak korban.

naskah di atas pernah dimuat di koran Tribun Jabar karya Djasepudin, guru SMA Negeri 1 Cibinong Kab. Bogor

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun