Hari Buruh saban tahun dirayakan. Meski begitu momen hari buruh tetap penting. Pertanyaan utama hajat buruh ini adalah setelah perayaan May Day adakah penderintaan kaum buruh berlalu? Â Apakah asa dan cita-citanya sudah terwujud? Sebagai bahan refleksi dan introfeksi kita amati balada nasib salah satu buruh yang tinggal di Jatinangor, Sumedang dan bekerja di perbatasan Kab. Sumedang dengan Kab. Bandung.
Angin berhembus kencang, gemuruh petir terus menemani hujan. Sekira jam sembilan malam, Yuyun  mematung, menunggu bus jemputan di pertigaan Warungkalde-Sayang, Jatinangor Sumedang. Dari rona dan raut wajahnya tergambar beban pikiran yang berat dan mendalam.  Bersama ribuan rekan sepekerjaan,Â
Yuyun memburu salah satu pabrik konfeksi di kawasan Parakanmuncang, Sumedang. Janda setengah tua beranak satu itu terpaksa begadang karena giliran sif malam.
Puluhan tahun bekerja di hadapan deru mesin, sejatinya Yuyun sudah merasa jenuh dan berharap ada perubahan. Akan tetapi, usia yang merambat tua membuat tenaganya terus berkurang.Â
Bukan sekali dua kali ia mendapat dampratan sang majikan karena hasil produksinya dianggap tidak memuaskan. Perusahaan enggan mengeluarkannya, karena mesti mengeluarkan sejumlah pesangon. Pelbagai cara dilakukan manajemen perusahaan agar Yuyun mengundurkan diri dari perusahaan. Masalah untung-rugi yang menjadi pangkal persoalan.
Dengan segala keterbatasan Yuyun tetap bertahan. Tak ia indahkan demam atau batuk yang menahun. Tak ia hiraukan makian dan akal bulus yang kerap dipraktikkan para dunungan. Yang ada di benaknya terus bekerja agar bisa menopang kebutuhan diri dan anaknya tercinta.
Kisah getir Yuyun, mungkin, dialami pula para buruh yang bekerja di sejumlah kawasan industri. Potret pudar nasib kaum buruh yang tak kunjung sejahtera dapat kita temui seperti di kawasan Majalaya, Cimahi, Padalarang, Cibinong, Cikarang, Depok, Cakung, dan Bekasi.
Lihatlah asupan gizi saat jam makan tiba. Untuk bekerja lebih dari delapan jam, para buruh hanya memakan nasi dan lauk-pauk alakadarnya. Bukan mereka irit atawa pelit, namun uang hasil bekerja di pabrik tidak memungkinkan untuk memenuhi empat sehat lima sempurna. Jangankan membeli makanan yang sehat, bervitamin, dan bergizi tinggi, untuk membayar kontarkan kamar bulanan saja mereka kerap gali lubang tutup lubang.
Pikiran kaum buruh kian pusing ketika menjelang Puasa dan Lebaran. Bagaimana pun juga minimal setahun sekali mereka ingin silaturhami dengan sanak-saduara di kampung halaman.Â
Caranya, mengetatkan ikat pinggang. Ya, mengurangi anggaran makan dan kebutuhan harian. Mereka berharap bisa menabung untuk ongkos pulang dan memberi sedikit uang kepada orang tua, saudara, dan handai taulan.
Sisi-sisi getir kaum buruh itu mungkin sejak lama telah kita ketahui. Akan tetapi mengapa nasib kaum buruh tak jua beranjak baik? Tak hanya pekerja di pabrik, buruh tanih, buruh haria, buruh musiman, dan buruh kasar lainnya tetap bernasib sama.Â