Mohon tunggu...
Kompasiana Cibinong
Kompasiana Cibinong Mohon Tunggu... Guru - Kompasiana Cibinong, menulis berita dan cerita dalam bahasa Sunda dan Indonesia

Kompasiana Cibinong, menulis berita dan cerita dalam bahasa Sunda dan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Alun-alun Bandung dan Religiusitas Masyarakat

1 Juli 2019   12:25 Diperbarui: 1 Juli 2019   16:07 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jalan Dalem Kaum dan sekitarnya merupakan pusat ekonomi Kota Bandung. Di Dalem Kaum berputarnya pelbagai kehidupan yang bergantung pada kekuatan modal dan keandalan akal. Di Dalem Kaum bergumulnya pedagang kaki lima yang berasal dari Sunda, Minang, Batak, dan Jawa, bersaing dengan pengusaha jugala etnis Tionghoa, Arab, dan produk orang Amerika.

Sementara Cikapundung, sungai yang membelah Kota Bandung ini, lokasinya di sebelah timur dari Alun-alun. Dalam sajak "Bandung", Cikapundung tidak hanya sebentang sungai hampa makna, namun mewakili pusat perkantoran, perdagangan, dan hiburan, lengkap dengan gedung menjulang dan ribuan rumah kumuh.

Apabila penyajak dengan tepat menunjukkan letak Alun-alun, Dalem Kaum, dan Cikapundung, mengapa penyajak bertanya mana ari masjid agung?

Sungguh bertolak belakang, kawasan Cikapundung yang letaknya agak jauh dari Alun-alun, mengapa Masjid Agung yang ngajungkiring jangkung di depan Alun-alun tidak tampak terlihat?

Sejatinya jawaban dari pertanyaan ini berada dalam diri kita, dalam laku dan jiwa orang Bandung, dalam pola sikap pengunjung Alun-alun Bandung. Soalnya, keberadaan Masjid Agung tak lebih dari sarana ritus belaka. Bukan melulu Masjid Agung hanya makmur pada hari Jumat atau awal Ramadan, lebih dari itu, nilai-nilai universal yang terkandung dalam ajaran agama (Islam) kerap dilupakan.

Sebagai contoh, transaksi para penjual syahwat dan lalaki cunihin dibiarkan tumbuh subur di Alun-alun Bandung. Adegan kongkalikong para pkl dengan oknum petugas Satpol PP pun kita kerap menutup mata. Bahkan, pkl dan yang berpacaran pun kiwari merangsek memenuhi tepas masjid. Dalam tataran ini, norma masyarakat, negara, dan agama dianggap tidak ada.

Orang Bandung mulai kehilangan arah. Bingung dalam melangkah. Agama tak lebih dari pemenuhan kartu tanda penduduk saja. Dalam hal ini, orang Bandung masuk pada kolom STMJ, sembahyang terus maksiat jalan.

Hal tersebut ditegaskan oleh DAF dalam sajak "linglung", adan ti masjid agung/ meuntas ka alun-alun/ ngaleungit dina rungkun-rungkun. Panggilan azan mengajak salat atau ingat pada ajaran dan nilai-nilai agama lepas tak berbekas karena kita larut dalam kesibukan dan rutinitas sehari-hari.

Menurunnya tingkat religiositas, besar kemungkinan tidak hanya terjadi di Bandung, sebab masjid mewah dan megah yang berdiri di seluruh kota lainnya pun tampak ngungun dengan kesendiriannya.

Melihat fenomena semacam itu, sangat beralasan jika DAF menulis sajak "heureuy":

Sapanjang neangan kaler
Kidul deui kidul deui

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun