Wacana tilang elektronik kembali mengemuka setelah calon Kapolri baru menyampaikannya dalam fit and proper test di depan anggota DPR. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan efek samping seperti pungli oleh oknum aparat saat dilakukan tindakan tilang.Â
Apalagi di zaman teknologi digital sekarang ini semua data sudah bisa diintegrasikan dan dapat dimonitor sehingga tak diperlukan lagi aparat yang harus berjaga setiap saat di tepi jalan.
Sepanjang pengetahuan saya, baru pembayarannya saja yang elektronik alias bisa dibayar dendanya lewat bank tertentu secara online dari ponsel sehingga tak perlu repot-repot datang ke pengadilan. Namun penindakannya masih manual alias petugas menghentikan kendaraan yang diduga melanggar aturan lalu lintas. Walaupun CCTV lalu lintas sudah bertebaran di jalan-jalan protokol dan jalan arteri ibukota, namun belum bisa dilakukan penindakan secara elektronik, tetap saja petugas harus mencari kendaraan yang melanggar tersebut.
Selama ini pelanggaran lalu lintas disetarakan dengan perbuatan pidana alias berbuat kejahatan sehingga harus melibatkan jaksa penutut dan hakim yang mengadili.Â
Padahal sebenarnya pelanggaran tersebut cukup dihukum dengan denda, bukan pidana karena belum tentu semua pelanggarannya berakibat fatal.Â
Oleh karena itu kehadiran petugas tetap diperlukan karena terkait dengan penegakan hukum. Hal ini berbeda dengan tilang elektronik yang langsung dikirim ke alamat pemilik kendaraan, bukan petugas lagi yang mendatangi langsung pelanggarnya.
Permasalahannya, sudah siapkah masyarakat kita menerima tilang elektronik. Lha wong ada petugas saja masih kucing-kucingan, apalagi cuma kamera CCTV, bisa los dol pelanggarannya.Â
Mental masyarakat kita belum punya kesadaran untuk tidak melanggar lalu lintas walau tidak ada petugas satupun.Â
Prinsipnya, selama bisa dilanggar mengapa tidak dilakukan, yang penting selamat dan cepat sampai tanpa memikirkan bahwa pelanggaran yang dilakukannya dapat membahayakan pengguna jalan lainnya termasuk pejalan kaki.
Lebih repotnya lagi bila sistem pembayarannya dikaitkan dengan pajak tahunan kendaraan bermotor. Kalau setiap pelanggaran lalulintas dikenakan denda maksimal dan diakumulasi satu tahun penuh, bisa jadi tagihan denda tilangnya jauh lebih besar daripada pajak yang harus dibayarkan. Akibatnya kendaraan mending dijual murah daripada harus bayar denda seharga kendaraannya.Â
Apalagi melihat mental masyarakat kita yang senang melanggar lalulintas, bisa jadi jumlah tilangnya sebanyak dia pakai kendaraan, dalam setahun mungkin jumlahnya bisa mencapai 300 denda tilang bahkan lebih.