Selain itu para pelanggarnya belum tentu sama dengan pemilik kendaraannya, bisa saja sopirnya, dipinjamkan kepada yang lain atau disewakan. Walau mungkin terlihat jelas dan dapat diidentifikasi pengemudinya dari CCTV, belum tentu juga punya SIM atau bahkan bisa jadi belum punya KTP karena masih di bawah umur atau memang belum mengurus dokumen pencatatan kewarganegaraan seperti KK dan KTP walau usianya telah memenuhi syarat.Â
Jadi tidak semudah itu menerapkan tilang elektronik, bukan cuma sekedar memasang CCTV saja tapi juga infrastruktur lainnya harus disiapkan.
Sebagai ide boleh-boleh saja dilontarkan, apalagi di negara maju sisitem tersebut sudah dijalankan dengan baik. Tapi jangan lupa, di negara-negara maju kesadaran masyarakatnya sudah tinggi, tak perlu lagi ditakut-takuti oleh kehadiran petugas.Â
Mereka sadar kalau melanggar lalulintas bukan hanya bakal merugikan dirinya tapi juga orang lain di sekitarnya. Lha kalau di sini, sudah jelas salah saja masih marah-marah mengaku yang paling benar di dunia.
Jadi sebelum tilang elektornik benar-benar dilaksanakan, perlu dilakukan pengetatan aturan di lapangan agar menjadi kebiasaan. Tidak mudah memang, apalagi untuk kota besar dengan tingkat kepadatan lalulintas tinggi, butuh banyak petugas untuk mengawasi langsung karena tidak bisa mengandalkan CCTV begitu saja.Â
Begitu tertangkap CCTV, petugas harus langsung menghampiri, jangan menunggu hingga menumpuk tagihannya. Kasihan juga kalau sistemnya harus menunggu akumulasi jumlah tilang, bisa bangkrut saking banyaknya denda yang harus dibayarkan dibandingkan dengan pajak kendaraannya itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H