Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Tilang Menghilang, Pajak Meledak

23 Januari 2021   22:11 Diperbarui: 23 Januari 2021   22:19 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana tilang elektronik kembali mengemuka setelah calon Kapolri baru menyampaikannya dalam fit and proper test di depan anggota DPR. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan efek samping seperti pungli oleh oknum aparat saat dilakukan tindakan tilang. 

Apalagi di zaman teknologi digital sekarang ini semua data sudah bisa diintegrasikan dan dapat dimonitor sehingga tak diperlukan lagi aparat yang harus berjaga setiap saat di tepi jalan.

Sepanjang pengetahuan saya, baru pembayarannya saja yang elektronik alias bisa dibayar dendanya lewat bank tertentu secara online dari ponsel sehingga tak perlu repot-repot datang ke pengadilan. Namun penindakannya masih manual alias petugas menghentikan kendaraan yang diduga melanggar aturan lalu lintas. Walaupun CCTV lalu lintas sudah bertebaran di jalan-jalan protokol dan jalan arteri ibukota, namun belum bisa dilakukan penindakan secara elektronik, tetap saja petugas harus mencari kendaraan yang melanggar tersebut.

Selama ini pelanggaran lalu lintas disetarakan dengan perbuatan pidana alias berbuat kejahatan sehingga harus melibatkan jaksa penutut dan hakim yang mengadili. 

Padahal sebenarnya pelanggaran tersebut cukup dihukum dengan denda, bukan pidana karena belum tentu semua pelanggarannya berakibat fatal. 

Oleh karena itu kehadiran petugas tetap diperlukan karena terkait dengan penegakan hukum. Hal ini berbeda dengan tilang elektronik yang langsung dikirim ke alamat pemilik kendaraan, bukan petugas lagi yang mendatangi langsung pelanggarnya.

Permasalahannya, sudah siapkah masyarakat kita menerima tilang elektronik. Lha wong ada petugas saja masih kucing-kucingan, apalagi cuma kamera CCTV, bisa los dol pelanggarannya. 

Mental masyarakat kita belum punya kesadaran untuk tidak melanggar lalu lintas walau tidak ada petugas satupun. 

Prinsipnya, selama bisa dilanggar mengapa tidak dilakukan, yang penting selamat dan cepat sampai tanpa memikirkan bahwa pelanggaran yang dilakukannya dapat membahayakan pengguna jalan lainnya termasuk pejalan kaki.

Lebih repotnya lagi bila sistem pembayarannya dikaitkan dengan pajak tahunan kendaraan bermotor. Kalau setiap pelanggaran lalulintas dikenakan denda maksimal dan diakumulasi satu tahun penuh, bisa jadi tagihan denda tilangnya jauh lebih besar daripada pajak yang harus dibayarkan. Akibatnya kendaraan mending dijual murah daripada harus bayar denda seharga kendaraannya. 

Apalagi melihat mental masyarakat kita yang senang melanggar lalulintas, bisa jadi jumlah tilangnya sebanyak dia pakai kendaraan, dalam setahun mungkin jumlahnya bisa mencapai 300 denda tilang bahkan lebih.

Selain itu para pelanggarnya belum tentu sama dengan pemilik kendaraannya, bisa saja sopirnya, dipinjamkan kepada yang lain atau disewakan. Walau mungkin terlihat jelas dan dapat diidentifikasi pengemudinya dari CCTV, belum tentu juga punya SIM atau bahkan bisa jadi belum punya KTP karena masih di bawah umur atau memang belum mengurus dokumen pencatatan kewarganegaraan seperti KK dan KTP walau usianya telah memenuhi syarat. 

Jadi tidak semudah itu menerapkan tilang elektronik, bukan cuma sekedar memasang CCTV saja tapi juga infrastruktur lainnya harus disiapkan.

Sebagai ide boleh-boleh saja dilontarkan, apalagi di negara maju sisitem tersebut sudah dijalankan dengan baik. Tapi jangan lupa, di negara-negara maju kesadaran masyarakatnya sudah tinggi, tak perlu lagi ditakut-takuti oleh kehadiran petugas. 

Mereka sadar kalau melanggar lalulintas bukan hanya bakal merugikan dirinya tapi juga orang lain di sekitarnya. Lha kalau di sini, sudah jelas salah saja masih marah-marah mengaku yang paling benar di dunia.

Jadi sebelum tilang elektornik benar-benar dilaksanakan, perlu dilakukan pengetatan aturan di lapangan agar menjadi kebiasaan. Tidak mudah memang, apalagi untuk kota besar dengan tingkat kepadatan lalulintas tinggi, butuh banyak petugas untuk mengawasi langsung karena tidak bisa mengandalkan CCTV begitu saja. 

Begitu tertangkap CCTV, petugas harus langsung menghampiri, jangan menunggu hingga menumpuk tagihannya. Kasihan juga kalau sistemnya harus menunggu akumulasi jumlah tilang, bisa bangkrut saking banyaknya denda yang harus dibayarkan dibandingkan dengan pajak kendaraannya itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun