Sebelumnya, saya mengucapkan turut berduka cita atas musibah yang menimpa pesawat SJ-182 milik Sriwijaya Air yang jatuh di perairan Kepulauan Seribu setelah baru saja lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta. Kecelakaan ini menewaskan seluruh penumpang beserta awak kapalnya dan hingga kini masih dilakukan pencarian terhadap para korban oleh pemerintah.
Kita berharap seluruh korban dapat ditemukan dan dikebumikan selayaknya. Ke depan semoga pengawasan sebelum keberangkatan bisa lebih diperketat lagi untuk mencegah terulangnya kejadian yang sama.
Terlepas dari itu semua, sebenarnya pesawat terbang merupakan transportasi teraman di dunia. Bandingkan dengan transportasi darat yang setiap harinya pasti ada kecelakaan, kejadian kecelakaan relatif paling jarang terjadi dalam satu tahun.
Bahkan tahun 2017 sempat dinobatkan sebagai tahun teraman penerbangan di dunia karena tidak ada satupun catatan kecelakaan pesawat terbang pada masa itu. Hanya memang karena sangat jarang terjadi, setiap kecelakaan pesawat terbang selalu menimbulkan kehebohan luar biasa. Berbeda dengan kecelakaan di darat, karena terlalu sering sehingga tidak menjadi perhatian lagi.
Mengapa naik pesawat itu paling aman?
Pertama, sebelum keberangkatan pesawat selalu diperiksa detil apakah ada kelainan atau tidak baik mesin, bodi, kabin, hingga ke baut-baut yang paling kecil sekalipun. Satu baut copot saja bisa berakibat fatal, apalagi yang besar seperti mesin.
Hal ini berbeda dengan bis atau mobil, ada baut yang lepaspun kadang diabaikan sepanjang masih bisa jalan dengan normal. Tidak ada toleransi sedikitpun terhadap cacat atau kekurangan dalam pesawat, langsung di-grounded bila ditemukan kejanggalan.
Kedua, kapasitas pesawat dibatasi dengan ketat sehingga tidak melampaui berat maksimum yang dibolehkan. Pesawat selalu ditimbang sebelum terbang agar tidak overweight yang membuat pesawat menjadi stall saat lepas landas.
Tidak ada toleransi juga buat penumpang yang membawa barang melebihi berat yang ditentukan. Kejadian Mandala Airlines di Medan ditengarai disebabkan oleh beban yang melebihi kapasitas sehingga pesawat mengalami gagal terbang saat baru saja lepas landas.
Ketiga, calon penumpang di-screening dulu baik diri maupun barang bawaan. Hal ini untuk menghindari kejahatan di dalam pesawat seperti pembajakan, juga menghindari barang bawaan yang berbahaya masuk ke dalam pesawat seperti durian, cairan yang melebihi volume yang diizinkan, bahan yang berpotensi meledak, dan sebagainya. Sejak peristiwa WTC nyaris jarang terjadi lagi peristiwa pembajakan pesawat karena screening-nya semakin ketat di bandara.
Keempat, kondisi cuaca selalu dimonitor sebelum berangkat. Hal ini untuk memastikan tidak ada gangguan berarti selama dalam perjalanan terutama menghindari awan cumulonimbus, atau badai dan hujan lebat saat lepas landas dan mendarat. Pilot selalu mendapat briefing khusus sebelum terbang mengenai rute yang akan dilalui dikaitkan dengan kondisi cuaca.
Memang kadang terjadi perubahan cuaca mendadak saat dalam perjalanan yang membuat pilot terpaksa mengubah haluan dan kalau tidak sempat bisa berbuah kecelakaan, seperti yang terjadi pada Air Asia tahun 2014 lalu yang gagal menghindari cumulonimbus di perairan Selat Karimata.
* * * *
Jadi tak perlu ragu lagi untuk bepergian dengan pesawat terbang karena prosentase tingkat kecelakaan sangat kecil bahkan hingga dibawah 1%. Memang bedanya dengan kendaraan darat, sekalinya terjadi kecelakaan akibatnya langsung fatal, jarang yang selamat. Namun bukan berarti memuat kita menjadi takut untuk terbang.
Bepergian dengan pesawat menghemat waktu jauh lebih banyak untuk perjalanan jauh di atas 400 kilometer apalagi bila harus menyeberang pulau. Negara Indonesia dengan ribuan pulau memerlukan pesawat sebagai sarana penghubung antar pulau yang cepat dan aman.
Biayanya juga sebenarnya tak jauh beda dengan perjalanan darat, paling mahal dua hingga tiga kali lipat namun dari segi waktu bisa memangkas seperempat bahkan lebih yang diperlukan bila menggunakan perjalanan darat.
Namun terbang di masa pandemi memang agak sedikit lebih ribet karena harus memiliki surat keterangan bebas C-19 baik rapid antigen atau swab tes yang dikeluarkan oleh faskes. Jadi yang membuat lama adalah waktu tunggunya karena harus melalui beberapa prosedur, bukan waktu terbang. Oleh karena itu untuk perjalanan di bawah 400 Km lebih baik menggunakan transportasi darat karena waktu yang dibutuhkan tidak terlalu jauh bedanya.
Sebagai orang yang pernah hidup di bandara karena saking seringnya gonta ganti naik pesawat, perasaan takut selalu tetap ada. Namun karena sudah terlalu sering naik pesawat akhirnya menjadi ritual biasa saja. Rasa takut biasanya terjadi bila melihat cuaca buruk, saat lepas landas, saat melewati awan tebal hingga cuma terlihat putih saja, apalagi bila tergoncang-goncang membelah gumpalan awan, hingga saat menjelang mendarat.
Delay sudah menjadi makanan sehari-hari, karena cuaca buruk atau kondisi pesawat tidak laik terbang, bahkan hingga ganti pesawat. Ini semua demi keselamatan bersama daripada dipaksakan terbang tapi malah menyebabkan kecelakaan.
Pernah suatu kali pesawat ketinggiannya hanya tinggal beberapa ratus meter dari landasan tiba-tiba bergeser ke kanan karena tiupan angin kencang sehingga pesawat terpaksa naik kembali dan berputar ulang untuk meluruskan arah landasan. Untunglah tidak terjadi stall saat pesaawat dipaksa naik sehingga kita bisa mendarat  dengan selamat.
Lain waktu beberapa kali pesawat mengalami goncangan hebat hingga penutup bagasi kabin terbuka dan barang-barang berjatuhan, namun pilot bisa mengendalikan pesawat hingga melewati badai awan putih pekat. Namun semua itu tak membuat saya kapok naik pesawat terbang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI