Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Tatap Muka Mengapa Harus Ditunda?

3 Januari 2021   22:31 Diperbarui: 3 Januari 2021   23:10 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nadiem dan Belajar Tatap Muka (Sumber: tribunnews.com)

Kala banyak orang tua senang mendengar Mendikbud menunda sekolah tatap muka, saya justru bersikap sebaliknya. Alasan dibalik penundaan tersebut sekilas tampak logis mengingat semakin tingginya kasus harian positif Covid-19 dan banyak daerah kembali menjadi zona merah. Namun sudahkah Mendikbud juga mempertimbangkan dampak turunan atau jangka panjang dari kebijakan tersebut?

Sudah banyak keluhan orang tua yang tidak mampu mendidik anaknya secara online. Materi yang disampaikan guru tidak utuh, koneksi yang byar pet, peralatan seperti laptop atau hape yang tidak semua orang bisa memilikinya, dan sederet persoalan lainnya telah terjadi sebagai dampak PJJ. Belum lagi kondisi psikologis anak yang semakin menjadi alien, kurang bersosialisasi, kurang hiburan luar rumah yang menyenangkan, keranjingan main hape hingga lupa waktu, bahkan hingga kasus bunuh diri karena tidak sanggup mengikuti pembelajaran online.

Padahal sudah sembilan bulan lebih kita dipaksa PJJ karena keadaan. Sayangnya pemerintah tidak mempersiapkan sarana dan prasarana untuk belajar tatap muka selama periode tersebut, malah tampak tenggelam dalam ketakutan yang berlebihan. Padahal seandainya sepanjang waktu tersebut dipersiapkan untuk menyusun SOP, melengkapi sekolah dengan fasilitas kebersihan sesuai protokol kesehatan, menyiapkan ruang belajar yang lapang untuk menjaga jarak, serta mendidik para guru untuk menerapkan disiplin prokes kepada anak didiknya, mungkin tahun ini sudah bisa dilakukan pembelajaran tatap muka secara bertahap.

Sebuah anomali ketika sekolah yang justru tingkat disiplinnya bisa diatur oleh guru harus tetap ditutup, sementara kegiatan lain seperti perkantoran, pasar, pariwisata, yang penegakan disiplinnya lebih sulit justru sudah tampak kembali normal. Padahal di sekolah tatap mukalah kita bisa menanamkan disiplin protokol kesehatan, mengajarkan anak didik menggunakan masker, menjaga jarak, mencuci tangan dan menjaga kebersihan. Melatih empati kepada orang lain memerlukan contoh kongkrit dari guru yang ditiru oleh anak muridnya, bukan sekedar melihat tontonan di hape atau laptop saja.

Sekolah bukan saja sekedar transfer ilmu pengetahuan yang bisa dilakukan secara online, tapi juga mendidik siswa disiplin serta merupakan sarana pembentukan karakter bangsa yang tidak bisa begitu saja dipindahkan menjadi daring. Pendidikan kepribadian, disiplin, empati, etika, sopan santun, sosialisasi tidak bisa dialihkan begitu saja secara daring. Tatap muka tetap diperlukan untuk melatih kedisiplinan dan pendidikan psikologis lainnya agar tertanam di benak siswa bagaimana hidup berdampingan dengan orang lain yang bukan menjadi anggota keluarganya.

Haruskah kita seumur hidup tenggelam dalam ketakutan yang berlebihan terhadap penyakit yang tingkat kesembuhannya tinggi? Tentu tidak bukan. Kita harus mulai berani keluar dari ketakutan yang berlebihan ini, lawanlah dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat, bukan dengan membiarkan sekolah tutup terus menerus. Penyakit tidak akan pernah hilang dalam waktu sekejap, dan kita tak boleh menyerah atau takut terus menerus tiada akhir.

Baiklah kalau memang Mendikbud masih tenggelam dalam ketakutan, namun satu semester ini, tolong persiapkan sarana pendidikan yang sesuai dengan protokol kesehatan termasuk ruang kelas dan arena bermain siswa. Tolong didik para guru untuk mengajar dengan protokol kesehatan yang ketat, termasuk dalam membimbing anak didiknya. Cukuplah satu semester ini untuk persiapan sekolah tatap muka pada pertengahan tahun nanti, jangan lagi ada penundaan dengan alasan apapun.

Janganlah kita terus menerus hidup dalam ketakutan yang berlebihan sehingga mengorbankan masa depan anak hanya di depan komputer atau hape saja. Biarlah anak berkembang dalam pengawasan guru sesuai protokol kesehatan di sekolah, jangan belajar di rumah terus yang membuat anak menjadi terkungkung kemerdekaannya untuk belajar dan bersosialisasi dengan yang lain. Biarlah anak bisa menghirup udara bebas dengan bepergian ke sekolah, namun tetap menjalankan protokol kesehatan dengan ketat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun