Jadi dengan terbakarnya gedung otomatis penghuni 'terpaksa' merelakan isinya ikut terbakar sekaligus 'memaksa' pemegang kuasa untuk mengeluarkan anggaran pembangunan gedung baru.
Apapun bentuknya, kebakaran dianggap sebagai 'force majeure' atau bencana yang memerlukan penanganan segera termasuk membangun gedung pengganti apabila terjadi kerusakan berat dan tidak bisa lagi digunakan berdasarkan penilaian tim appraisal.Â
Anggaran darurat bisa digunakan untuk membangun kantor sementara sebelum ada bangunan baru. Kemudian pada tahun anggaran berikutnya bisa diajukan pembangunan gedung baru di atas reruntuhan gedung yang terbakar tersebut.
Modus seperti ini sudah lama dipraktekkan di negeri ini. Jarang sekali kita dengar sebuah gedung tua sengaja diledakkan atau dihancurkan tanpa melalui proses 'kebakaran'.Â
Alasan yang paling sering digunakan adalah korsleting arus listrik yang rambatannya cepat sekali, atau gas meledak yang menyambar bahan mudah terbakar. Korsleting sering terjadi karena pemakaian daya di atas rata-rata sehingga kabel dan perangkat yang mengalirkan listrik menjadi cepat panas dan memicu terjadinya kebakaran akibat arus pendek dari kabel yang lumer kepanasan.
Entah sampai kapan fenomena 'pembakaran' gedung berakhir. Selama model penganggaran seperti diceritakan di atas, kebakaran takkan pernah hilang.Â
Apalagi ditambah dengan aroma konspirasi yang menyengat menyertai asap kebakaran gedung, tidak hanya di Kejagung saja tapi juga pada gedung-gedung pemerintahan lain yang pernah terbakar seperti gedung MA, beberapa Dinas PU di daerah, selalu ada kasus besar di belakangnya.
Apapun itu, sudah saatnya kita mulai memetakan aset bangunan gedung yang sudah 'kadaluwarsa' dan butuh renovasi total sehingga tak perlu lagi ada 'kebakaran' seperti selama ini terjadi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI