Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Masih Perlukah Sekolah di Era AKB?

21 Juli 2020   12:12 Diperbarui: 21 Juli 2020   12:09 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa belajar jaga jarak (sumber: nbcnews.com)

Sudah seminggu ini anak-anak mulai sekolah dengan sistem Pembelajaran Jarak Jauh alias PJJ. Mulai terasa pula berbagai kesulitan untuk beradaptasi dengan belajar daring, seperti rebutan komputer, laptop, koneksi lambat, guru yang melimpahkan tugas seabrek, dan sebagainya. 

Istriku juga mulai kepayahan menerjemahkan materi kelas yang disampaikan guru. Bayangkan kalau satu rumah cuma punya satu laptop atau komputer, apa tidak rebutan?

Hape juga biasanya hanya orang tua yang punya, sekarang anak-anak harus dibekali masing-masing satu hape untuk berkomunikasi dengan guru.

Walau pembelajaran sudah daring, bukan berarti ada penghematan. Tetap saja biaya yang dikeluarkan hampir sama saja. SPP hanya dikurangi uang katering saja, sementara lainnya tetap. 

Saya maklum sih karena mereka tetap harus menggaji guru, satpam, memelihara gedung, listrik, dan lain-lain. Tapi uang transport juga tidak berkurang, berganti menjadi uang kuota yang jumlahnya jauh lebih besar, dan uang jajan juga tetap diminta anak-anak walau ada di rumah saja.

Repotnya lagi jadwal menjadi tidak teratur, kadang sering molor dari jam belajar yang semestinya. Murid-murid yang lain juga tidak tepat waktu, dan materi yang diberikan juga sering putus-putus. 

Guru juga tidak maksimal memberikan pelajaran dan akhirnya malah memberikan banyak tugas pada anak muridnya. Murid cuma diberikan buku pelajaran dan disuruh baca sendiri, lalu harus menyelesaikan tugas dengan kondisi bingung.

Orang tua terpaksa menggantikan guru untuk menerangkan pelajaran kepada anak. Saya mungkin beruntung istri tidak bekerja di luar, tapi tetap saja pusing mengajari ketiga anak dari tiga jenjang berbeda, satu SD, satu SMP, satu SMA. 

Bayangkan kalau kedua orang tuanya bekerja, siapa yang mentransfer ilmu dari guru yang setengah matang tersebut kepada anak-anak? Apalagi kalau tidak punya asisten rumah tangga atau saudara yang menemani di rumah, siapa yang mengontrol anak-anak belajar?

Buat keluarga kelas menengah seperti kami mungkin belum menjadi masalah besar. Tapi bagaimana dengan mereka yang hidupnya pas-pasan, buat makan saja susah tapi harus menyediakan komputer atau hape untuk belajar. 

Belum lagi kalau anaknya lebih dari satu, bagaimana caranya belajar kalau jam belajarnya berbarengan. Koneksi mungkin tidak jadi kendala, tapi biayanya yang mungkin belum terjangkau apalagi kalau harus buka aplikasi webinar, sudah pasti makan kuota besar.

Saya membayangkan bagaimana mereka yang berada di daerah, apalagi di daerah terpencil. Listrik belum tentu ada apalagi di pulau-pulau terpencil. 

Di pulau besarpun listriknya belum tentu stabil, masih byarpet, kadang siang mati, sore baru nyala, atau sebaliknya. Sinyal internet saja susah, bahkan ada yang sampai naik gunung seperti tulisan saya di sini. 

Tidak semua orang tua mampu beli hape, apalagi komputer per anak. Kalau cuma punya satu atau dua anak masih bisa pinjam hape orang tuanya, kalau lebih bagaimana? Lalu apakah orang tuanya juga harus mengorbankan hapenya untuk dipinjam ke anak?

Para guru juga sebenarnya bingung ketika harus mengajar di depan komputer karena sudah terbiasa mengajar di depan kelas. Tidak semua guru melek teknologi, bahkan yang sering menggunakan komputer sekalipun belum tentu familiar mengajar lewat aplikasi. 

Beberapa guru merasa lebih nyaman mengajar di depan kelas walau harus dilakukan penggiliran sekalipun daripada harus memaksakan diri mengajar di depan komputer atau hape. Lalu bagaimana dengan praktikum fisika, kimia, biologi, olahraga, apakah setiap murid harus membuat sendiri labnya?

Akhirnya kami jadi kepikiran kenapa tidak homeschooling saja alias belajar mandiri. Nanti tinggal ikut Kejar Paket A, B, dan C untuk memperoleh penyetaraan ijazah. 

Jauh lebih murah dan mudah, tidak perlu bayar biaya sekolah, cukup biaya ujian per paketnya saja. Ijazahnya juga resmi dan sah serta dapat digunakan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Jadi apa bedanya PJJ dengan homeschooling? 

Negara ini heterogen termasuk rakyatnya. Jadi ambillah benchmark mereka yang berada di bawah, bukan seperti kami-kami ini apalagi standar Amerika atau Eropa yang notabene sudah sangat maju. 

Lebih baik tetap masuk sekolah walau harus dikurangi jumlah siswa per kelas dan jumlah jam belajar. Sekolah tetap harus menerapkan protokol kesehatan dan diawasi ketat oleh para gurunya. Jadi jangan paksakan PJJ kalau ingin wajib belajar dituntaskan di seluruh negeri yang beragam kondisinya ini.

Kalau tetap dipaksakan PJJ, sudah wajibkan saja homeschooling. Semua wajib mengikuti Kejar Paket A, B, dan C untuk masing-masing jenjang pendidikan. Tidak perlu lagi ada sekolah secara fisik, pun demikian juga dengan gurunya di era AKB. Semua orang tua wajib jadi guru bagi anaknya masing-masing, atau guru-guru sekolah berubah fungsi jadi guru privat mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun