Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Manajemen Kertas Biang Lambannya Kerja Pemerintah

29 Juni 2020   20:24 Diperbarui: 29 Juni 2020   20:25 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Presiden Jokowi kembali meluapkan amarahnya dalam sidang kabinet paripurna tanggal 18 Juni 2020 yang videonya disebarluaskan melalui kanal yutub kemarin sore. 

Presiden menyoroti lambannya kinerja kabinet dalam menghadapi krisis, seolah menganggap pekerjaan sebagai 'business as usual' padahal situasi sedang dalam krisis pandemi berkepanjangan yang berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah sudah seharusnya sudah menyalurkan anggaran untuk diserap masyarakat agar roda ekonomi tetap berputar di tengah lesunya dunia usaha saat ini. 

Namun dalam kenyataannya masih banyak dana yang belum seluruhnya tersalurkan terutama untuk penanganan covid-19 termasuk sebagian honorarium para tenaga medis yang bekerja di lapangan. Padahal pandemi sudah hampir empat bulan berlangsung dan belum ada tanda-tanda bakal meredup.

Tampak sekali tidak ada manajemen krisis dalam menangani situasi darurat saat ini. Aparat pemerintah masih mengandalkan 'manajemen kertas' untuk menghadapi penanganan wabah virus corona yang begitu cepat ini. Setiap pengeluaran harus diganti dengan berkas-berkas berisi kertas-kertas pertanggungjawaban seperti kwitansi, laporan, foto atau video, bukti fisik kalau ada, dan sebagainya. 

Bukti=bukti tersebut juga harus diverifikasi terlebih dahulu sebelum diajukan pencaiaran. Tanpa setumpuk bukti-bukti tersebut, jangan harap uang bakal cair.

Banyak rumah sakit mengeluh karena belum bisa mendapatkan penggantian akibat kurangnya bukti-bukti atau belum dilakukannya verifikasi oleh tim penilai dari satker terkait. Sementara jumlah pasien terdampak covid-19 terus bertambah dan biaya yang dikeluarkan makin membengkak. Proses pengumpulan bukti, verifikasi, dan pencairan yang memakan waktu lama inilah yang membuat penyerapan anggaran terasa sangat lamban. 

Di dalam rumah sakit sendiri proses pengumpulan bukti dan verifikasi bisa memakan waktu dua hingga empat minggu, belum lagi pengajuan ke KPN melalui satker setempat juga bisa memakan waktu hampir sama. Jadi uang baru bisa keluar paling cepat satu hingga dua bulan.

Kertas-kertas tersebut masih dibutuhkan dalam rangka pembuktian pertanggungjawaban penggunaan uang negara. Tanpa itu, bisa-bisa menjadi target KPK atau aparat penegak hukum lainnya karena mengeluarkan uang negara tanpa bukti-bukti yang tertuang dalam kertas. 

Serta salah memang, di satu sisi pekerjaan harus dilakukan dengan cepat mengikuti pergerakan virus, sementara di sisi lain pencairan uang begitu lambat karena takut dianggap menyalahgunakan uang negara. Memang ada klausul dalam UU penanganan covid bahwa tidak akan ada tuntutan hukum, tapi siapa yang menjamin kebijakan tersebut di tingkat lapangan.

Belum lagi ada oknum aparat yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Mumpung ada anggaran besar, maka dilakukan tes massal secara acak dengan alasan untuk memutus penularan covid. Padahal kalau mau efektif, harusnya tes massal dilaksanakan serentak dan diikuti semua penduduk, tidak bisa random karena virusnya sudah terlanjur menyebar.

Kalaupun mau tes massal juga harusnya di awal wabah ketika kasus masih sedikit jadi bisa dilokalisir karantinanya. Banyak orang sehat jadi korban tes massal dan harus dikarantina, padahal belum tentu tes swabnya positif, dan kalaupun positif belum tentu sakit sehingga seharusnya bisa isolasi mandiri di rumah.

Data bansos yang kurang akurat juga ikut memperparah keadaan. Pencairan jadi terkendala karena banyak calon penerima yang tak tepat sasaran sehingga harus dilakukan pendataan ulang. 

Dana yang dibutuhkanpun akhirnya membengkak dan harus direalokasi kembali anggaran untuk menambal kekurangan tersebut. Akhirnya banyak proyek lain ikut terhambat karena anggarannya dikurangi akibat pengalihan kebutuhan untuk bansos tersebut.

Ibarat kata, presiden berlari dengan kecepatan 100 km per jam, tapi aparatnya hanya mampu berjalan cepat 30 km per jam. Akibatnya tertinggal jauh dari apa yang diharapkan presiden untuk membuat uang beredar karena hanya pemerintahlah yang bisa memutar uang di era krisis sekarang ini. Mengharapkan pihak swasta sudah tak mungkin karena mereka sendiri juga megap-megap akibat kurangnya pembeli. 

Tinggal UMKM saja terutama sektor informal yang masih bisa bertahan dan menopang kehidupan ekonomi di kala krisis karena mereka menjual kebutuhan sehari-hari yang masih dibutuhkan masyarakat.

 Jadi untuk mempercepat pencairan, pangkas semua aturan birokrasi yang menghambat, tapi beri hukuman berat juga bagi para oknum yang memanfaatkan kesempatan. Memang orang Indonesia itu susah diatur, dilonggarkan sedikit ngelunjak, diketatkan seret pencairannya. 

So, harus ada terobosan untuk mencairkan anggaran secara cepat namun tetap aman dan terkontrol sehingga meminimalisir penyalahgunaan anggaran di lapangan. Manajemen kertas harus diganti dengan manajemen digital agar semua kegiatan terekam secara onine sehingga bisa dibuktikan langsung tanpa harus cetak dokumen lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun