Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bermimpi Jakarta Jadi Singapura

22 Juni 2020   16:29 Diperbarui: 22 Juni 2020   16:27 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jakarta vs Singapura (Sumber: finansialku.com)

Hari kota Jakarta tepat berumur 493 tahun sejak pertama kali didirikan oleh Fatahilah yang berhasil merebut benteng Sunda Kelapa dari tangan Portugis pada tanggal 22 Juni 1527 M.

Namun tak sampai seabad Belanda datang merebut kota Jayakarta tahun 1619 dari tangan Kesultanan Banten dan mengubah namanya menjadi Batavia. Nama tersebut bertahan selama 323 tahun sebelum akhirnya Jepang yang berhasil menduduki Hindia Belanda mengganti namanya menjadi Djakarta hingga saat ini.

Singapura masih berupa pelabuhan kecil ketika Jayakarta sudah menjadi pelabuhan utama perusahaan dagang Hindia Belanda atau VOC pada abad ke-16. Saat itu Singapura masih dikuasai oleh Kesultanan Johor dibawah protektorat Belanda yang juga menguasai Malaka.

Berdasarkan perjanjian London tahun 1824, Singapura dan Malaka ditukar Belanda dengan Bengkulu yang dikuasai Inggris. Sejak itulah Singapura mulai berkembang menjadi pelabuhan utama British India di Asia Tenggara sekaligus mengalahkan pelabuhan Batavia yang mulai tenggelam setelah VOC bubar.

Setelah sempat bergabung dengan Malaysia tahun 1957 ketika memperoleh kemerdekaan dari Inggris, Singapura akhirnya melepaskan diri menjadi negara merdeka tahun 1965. Singapura berkembang menjadi kota negara terbesar di Asia Tenggara hingga saat ini setelah memerdekakan diri dari Malaysia karena banyaknya perbedaan prinsip dengan negeri induknya.

Perdagangan, jasa dan transit adalah andalan utamanya tanpa harus memiliki sumberdaya alam. Letaknya yang strategis membuatnya menjadi penghubung antara Asia Timur dengan negara-negara Asia lainnya, Eropa, bahkan Amerika.

Sementara Jakarta menjadi ibukota Republik Indonesia setelah usai perang kemerdekaan tahun 1949. Sebelumnya ibukota Indonesia sempat berpindah-pindah, mulai dari Jakarta, lalu Bukittinggi, dan Yogyakarta sebelum kembali lagi ke Jakarta.

Sebagai ibukota negara, Jakarta terus bersolek untuk mengejar Singapura dan Kuala Lumpur sebagai kota perdangangan, jasa, dan transit antar benua. Transportasi umum mulai dibenahi sehingga Jakarta semakin nyaman bagi para pejalan kaki dan pengguna angkutan umum. Jalan protokol mulai bebenah dan didandani dengan memperlebar trotoar untuk memanjakan pejalan kaki.

Secara fisik Jakarta sudah mendekati Singapura walau belum seluruhnya dibenahi. Jakarta sudah punya Transjakarta, KRL, dan MRT yang menjadi ujung tombak transportasi umum yang menghubungkan warga dari pinggiran ke tengah kota dan sebaliknya.

Kampung-kampung kumuh sudah mulai dibenahi, beberapa pasar juga sudah mulai dimodernisasi. Tinggal satu yang kurang, akankah Jakarta menjadi 'Negeri Federal' atau memisahkan diri ketika ibukota negara resmi pindah ke Kalimantan.

Pandemi Covid-19 seolah menjadi test of the water untuk membatasi pergerakan orang dari dan ke luar Jakarta. Setiap orang yang ingin ke Jakarta 'wajib' memiliki SIKM, semacam 'visa' untuk keluar masuk yang berlaku sekali atau berkali-kali, istilah kerennya 'single entry' atau 'multiple entry'.

Untuk mengurus SIKM syaratnya selain harus memiliki surat keterangan bebas Covid-19, juga harus ada surat keterangan domisili dari daerah asal dan surat dari perusahaan tempat yang bersangkutan bertugas.

Setiap keluar masuk Jakarta baik lewat bandara, stasiun, maupun terminal dan jalan raya, akan di-cek 'visa'nya oleh petugas. Hanya penduduk Bodetabek saja yang boleh keluar masuk tanpa 'visa', selain itu wajib mengurusnya secara online karena provinsi DKI tidak punya kantor perwakilan di daerah.

Karena terbatasnya petugas yang memproses 'visa', banyak permohonan yang ditolak atau baru keluar setelah berhari-hari diajukan, keburu tiket pesawat atau keretanya hangus karena terlalu lama menunggu.

Saya jadi ingat ketika DIY sempat akan dihilangkan keistimewaannya dengan pilgub langsung. Masyarakat protes bahkan sempat mengusulkan 'kemerdekaan' dengan mendirikan Kesultanan Yogyakarta yang memiliki paspor sendiri.

Setiap orang yang hendak ke Jogja harus memiliki paspor agar dapat berkunjung dan berwisata di provinsi tersebut. Untunglah usulan pilgub langsung urung disetujui pemerintah pusat. Gubernur DIY tetap dipimpin oleh seorang Sultan hingga sekarang ini.

Bisa jadi setelah pandemi berakhir dan anggaran kembali normal, untuk mencegah urbanisasi di sekeliling batas Jakarta akan dibangun semacam 'Tembok Berlin'. Di tiap-tiap jalan perbatasan dibangun 'checkpoint' untuk memeriksa keluar masuk penduduk, mirip pos imigrasi Woodlands di Singapura.

Antrean panjang pun mengular mengingat banyaknya penduduk Bodetabek yang bekerja di Jakarta, persis seperti pemandangan di jembatan Causeway Bay yang menghubungkan Singapura dengan kota Johor Bahru di Malaysia.

* * * *

Kriiiingggg, suara dering alarm membangunkan saya dari mimpi. Ah, ternyata cuma khayalan saja Jakarta menjadi Singapura. Setelah mandi dan berkemas, saya berangkat ke kantor melewati checkpoint Charlie, tunjukkan KTP dan loloslah sudah sampai di kantor tepat pada perayaan harijadi Jakarta ke-493 tahun.

Selamat Ulang Tahun Jakarta, semoga tambah jaya selalu!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun