Sejak pandemi wabah corona bergulir, banyak kegiatan yang dialihkan dari offline menjadi online. Salah satunya adalah kegiatan pertemuan atau rapat dialihkan menjadi video conference alias vicon. Aplikasi seperti zoom, google meet, dan sebagainya laku keras bahkan melejitkan pemiliknya menjadi salah satu orang terkaya di saat pandemi ini. Rapat-rapat kantor seluruhnya sudah menggunakan vicon walau sama-sama berada di ruangan kantor masing-masing.
Sekilas, keberadaan vicon memang lebih efisien dan menguntungkan. Kita tak perlu mengeluarkan biaya transportasi untuk menghadiri rapat di luar kantor apalagi di luar kota, tak perlu sewa hotel untuk rapat dan penginapan peserta (bila rapatnya lebih dari satu hari), dan tak perlu menyiapkan konsumsi. Penghematannya cukup luar biasa apalagi kalau rapatnya berskala besar dengan jumah peserta di atas 50 orang.
Rapat atau pertemuan yang sifatnya satu arah dari pembicara ke peserta sangat cocok dilakukan secara vicon. Contohnya rapat yang bersifat arahan, sosialisasi, seminar dengan narasumber tanpa banyak diskusi. Kalaupun ada tanya jawab bisa dikontrol oleh moderator sehingga jalannya pertemuan lebih terarah. Di sini yang aktif adalah pembicara dan moderator sebagai penengah, sementara peserta bersifat pasif, artinya lebih banyak mendengarkan daripada bertanya atau diskusi.
Namun tak semua rapat atau pertemuan bisa dengan leluasa dilakukan dengan vicon. Pertemuan yang sifatnya dua arah atau lebih, apalagi tidak ada pembicara utama dan hanya ada moderator saja tentu sulit dilakukan secara online. Rapat yang sifatnya diskusi dengan peserta setara apalagi sampai berdebat mengenai suatu masalah, sulit difasilitasi lewat vicon. Â
Kemampuan vicon terbatas untuk satu dua suara saja, selebihnya bakal mengganggu speaker atau headset yang digunakan. Berbeda dengan tatap muka langsung yang lebih bebas bersuara sekaligus menangkap ekspresi lawan bicara tanpa gangguan suara dan bisa dikendalikan langsung oleh moderator.
Jujur saya sendiri akhirnya lebih banyak diam saat diskusi melalui vicon karena moderator sulit melihat siapa yang ingin bicara, apalagi bila menggunakan hape. Layar hape yang terbatas menyulitkan moderator untuk mempersilakan peserta berbicara. Bahkan layar komputer yang lebih lebarpun sulit melihat satu demi satu peserta bila jumlahnya lebih dari 50 orang. Gambarnya kecil-kecil dan sulit untuk melihat tanda peserta ingin bertanya atau memberikan pendapat.
Selain itu, ada aspek psikologis manusia yang tak tergantikan oleh kemajuan teknologi. Suasana rapat di tempat khusus seperti hotel dengan nuansa pegunungan atau pantai tidak bisa digantikan dengan vicon walau dilakukan di kamar sambil leyeh-leyeh sekalipun.Â
Kondisi rumah yang berbeda-beda, apalagi yang tidak memiliki ruang kerja sendiri, rawan gangguan oleh suara-suara lain seperti suara anak-anak bermain, suara televisi, suara orang sedang memasak, suara mesin cuci, dan sebagainya. Kita juga tak bisa menangkap suasana rapat apakah berlangsung panas, seru, atau hangat karena sulit meraba ekspresi wajah masing-masing peserta di layar komputer atau hape, apalagi kalau mode videonya dimatikan.
Selain diskusi, kegiatan lain yang tidak bisa dilakukan melalui vicon antara lain pemeriksaan kesehatan dan pemeriksaan lapangan (site visit). Memang situasi sekarang ini menjadi dilema untuk memeriksakan kesehatan.Â
Di satu sisi datang ke faskes beresiko tertular atau menularkan, sementara di sisi lain bila visitasi melalui vicon analisis dokternya jadi kurang maksimal karena keluhannya hanya bisa disampaikan secara verbal saja. Demikian juga pemeriksaan fisik barang atau bangunan, tentu tidak bisa hanya dilihat melalui video saja, tapi harus dilakukan uji langsung di lapangan.Â
So, di masa PSBB transisi sekarang ini, mulailah kembali beraktivitas seperti biasa dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan. Jangan ragu lagi untuk melaksanakan kegiatan secara offline apabila memang diharuskan. Waspada harus, namun jangan paranoid. Hargailah manusia sebagaimana mestinya, jangan anggap mereka sebagai penyebar virus.