Walau sempat dikabarkan hoax perpanjangan PSBB DKI Jakarta hingga 18 Juni (1), ternyata berita yang benar bahwa mulai hari ini PSBB diperpanjang lagi hingga akhir Juni, itupun tanpa tanggal yang jelas sambil menyatakan bahwa periode ini merupakan masa transisi (2).Â
Alasannya karena masih ada zona merah walaupun sudah terdapat banyak kemajuan antara lain mulai melandainya kurva dan sudah banyak zona hijua dan kuning. Padahal sehari sebelumnya sempat dikabarkan kalau statusnya bakal diturunkan jadi PSBL dan hanya melokalisir RW tertentu yang masuk zona merah saja.
Kebijakan tersebut disusul perpanjangan PSBB di wilayah sekitarnya yang menyesuaikan diri dengan kebijakan PSBB DKI Jakarta seperti Kota Bogor (3) dan Kota Bekasi (4). Di wilayah tersebut juga mulai dilakukan adaptasi untuk membiasakan perilaku new normal. Selain itu di wilayah tersebut juga masih terdapat zona merah sehingga perlu diintensifkan lagi pengawasannya. Padahal menerut peneliti Indef, kebijakan penerapan PSBB di daerah yang sektor informalnya tinggi seperti di wilayah Jabodetabek cenderung tidak efektif (5).
Mengapa demikian? Karena parameter yang digunakan untuk menentukan perpanjangan PSBB sebagian besar masih fokus pada aspek kesehatan dan epidemiologinya saja. Kajian ekonomi dan sosialnya sebagai dampak dari PSBB tidak (belum) diungkapkan secara jelas dan gamblang.Â
Padahal dampaknya sangat jelas terasa, sebagai contoh anggaran pendapatan DKI diproyeksikan bakal turun hingga 40 Triliun Rupiah (6) sehingga harus dilakukan realokasi anggaran, salah satunya dengan memotong tunjangan daerah para ASN di DKI. Belum lagi sektor swasta yang kolaps satu demi satu, PHK dimana-mana, bahkan Apindo memprediksi pengusaha hanya sanggup bayar gaji karyawan hingga bulan Juni (7).
Saya sepakat kalau dalam masa tanggap darurat kita harus memprioritaskan aspek kesehatan di atas pelbagai aspek lainnya. Namun jangka waktunya tidak bisa dibuat terlalu panjang karena dampaknya akan merembet ke aspek lain seperti ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan. Harus ada strategi lain agar tidak melulu bergantung pada PSBB yang terlalu fokus pada aspek kesehatan namun cenderung mengabaikan aspek lainnya.
Pandemi di Indonesia sudah tiga bulan berlalu sehingga parameter yang digunakan seharusnya diperluas dengan melihat dampak lain seperti ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, akibat pandemi covid 19 ini.Â
Berapa tingkat pengangguran, KDRT yang terjadi, tingkat kriminalitas, korban kelaparan, korban bunuh diri, dan sebagainya juga perlu didata dan dipertimbangkan juga. Sebagai catatan, pengangguran akibat PHK di AS saja sudah mencapai 33,2 juta orang. Sementara di Indonesia sendiri diperkirakan sekitar 10 juta orang (8).
Jangan sampai karena mengejar zona hijau atau zero kasus covid, jumlah korban kematian akibat dampak covid justru lebih besar misalnya jumlah kasus kelaparan dan bunuh diri meningkat dan terabaikan.Â
Sebagai contoh ada kasus bunuh diri seperti terjadi di Tangerang (9) dan Banyuwangi (10), serta kematian akibat kelaparan seperti terjadi di Serang yang sempat viral beberapa waktu lalu merupakan indikasi bahwa ada dampak lain yang terjadi sebagai akibat dari penanggulangan wabah covid-19 yang kurang mempertimbangkan aspek lain.
Dalam menghadapi penyelesaian pandemi ke depan, parameter yang digunakan untuk memperpanjang atau melonggarkan PSBB haruslah komprehensif, dilihat dari berbagai sisi seperti telah diuraikan di atas tadi.Â
Strateginya juga harus mulai diubah bila tidak terjadi penurunan kasus, misalnya dengan mengkarantina yang sakit atau pada zona-zona tertentu saja yang warnanya masih merah. Sebenarnya strategi PSBL bisa digunakan untuk mengisolasi zona-zona merah tertentu tanpa harus membatasi pergerakan orang di zona-zona yang sudah kuning apalagi hijau.
Bila masih juga menggunakan parameter yang sama dengan sekarang (11), pertanyaannya kalau akhir bulan ini masih ada juga zona merah dan ada kasus penularan baru, lalu akan diperpanjang lagi sampai kapan?Â
Kalau menunggu harus semua masuk zona hijau sampai hari kiamat pun ga bakal mungkin, mengingat WHO sendiri sudah menyatakan bahwa virus corona tidak akan mungkin hilang sepenuhnya dari muka bumi (12).Â
Kota Tegal boleh saja berbangga sudah zero kasus, tapi jangan lupa pergerakan manusia di kemudian hari berpotensi menambah kasus baru. Lalu akankah masing-masing kota ditembok seperti Berlin hanya untuk menghindari masuknya virus yang mungil ini?
Sumber:
(1) kompas.com dan detik.com
(2) kompas.com
(3) kompas.com
(4) kompas.com
(5) kompas.com
(6) liputan6.com
(7) detik.com
(8) kompas.com
(9) redaksi24.com
(10) pikiran-rakyat.com
(11) kompas.com
(12) kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H