Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membuka Ramadan dengan Kesunyian

23 April 2020   22:46 Diperbarui: 23 April 2020   22:51 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sholat Berjamaah dengan Social Distancing (Sumber: ayobandung.com)

Ramadhan kali ini boleh dibilang benar-benar istimewa dan sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Biasanya setiap awal Ramadhan, masyarakat antusias menyambutnya di masjid-masjid menanti sholat tarawih pertama.

Masjid ramai penuh jamaah yang sedang berharap cemas hasil hisab dan rukyat yang akan diumumkan oleh Menteri Agama untuk memastikan hari pertama bulan Ramadhan. Bahkan keramaiannya melebihi sholat Jumat karena jamaah wanita juga ikut sholat berjamaah di masjid sehingga kadang-kadang hingga halaman parkiranpun ikut digunakan sebagai shaf sholat.

Walaupun zaman sudah modern, namun penentuan awal waktu Ramadhan masih tetap menggunakan dua mode tadi. Bila hilal sudah terlihat di atas dua derajat tanpa terhalang awan, maka bisa dpastikan keesokan harinya dimulai puasa hari pertama.

Namun bila belum terlihat juga di beberapa tempat yang digunakan untuk melihat hilal, maka hari pertama puasa bisa ditunda keesokan harinya, atau ada juga yang menggunakan sistem kalender tanpa harus melihat hilal lagi.

Di beberapa daerah tertentu seperti betawi, bunyi petasan menandai pembukaan bulan Ramadhan segera setelah hasil hisab diumumkan oleh pemerintah. Pedagang takjil mulai bermunculan walau siang harinya puasa belum dimulai, untuk persiapan jualan di hari-hari berikutnya. 

Sementara pasar lebih ramai lagi karena banyak orang berbelanja untuk kebutuhan selama sebulan ke depan untuk makanan yang bisa dibekukan, atau minimal seminggu untuk sayur-sayuran dan bahan makanan yang cepat busuk.

Wabah corona datang, semua langsung berubah drastis termasuk dalam hal pelaksanaan ibadah berjamaah. Sejak sholat jumat ditiadakan, sholat jamaah tidak lagi terlalu ramai. Hari pertama setelah pengumuman tak ada lagi suara pelaksanaan sholat tarawih seperti biasanya. 

Beberapa masjid hanya menyelenggarakan sholat wajib Isya saja, sementara tarawihnya dilakukan di rumah. Ada juga yang masih menyelenggarakan, tapi tidak seramai tahun-tahun sebelumnya, minimal tak ada lagi pengeras suara digunakan saat sholat. Malam ini benar-benar sunyi tanpa suara riuh rendah shalat tarawih seperti biasanya.

Tampaknya kesadaran masyarakat semakin tinggi terhadap wabah corona yang belum juga mereda. Tak ada lagi keramaian di malam pembukaan bulan Ramadhan. Tak terdengar lagi suara petasan bertalu-talu, anak-anak berkeliling kampung menyambut Ramadhan sambil mengumandangkan takbir.

Entah sahur nanti, masih adakah suara-suara yang membangunkan sahur. Namun sepertinya bakal digantikan oleh alarm hape yang bunyinya membosankan

Peradaban mulai berubah, Ramadhan dibuka dengan kesunyian. Sholat dilakukan di rumah dalam keheningan, Al Quran dibaca dalam hati, tak lagi dinyanyikan dalam suara syahdu seperti dilagukan dalam MTQ. Kultum tak lagi di masjid, tapi dilakukan dengan mendengarkan ceramah secara online. 

Jadi Ramadhan kali ini benar-benar menguji keimanan seseorang untuk beribadah, apakah tulus dari hati yang paling dalam atau sekedar ikut-ikutan dalam keramaian di masjid.

Biasanya orang senang beribadah karena dilakukan bersama-sama di masjid. Sholat berjamaan bersama, mendengarkan pengajian bersama, i'tikaf pun juga bersama-sama di masjid.

Sekarang kita dipaksa untuk membangun kesadaran beribadah mulai dari sholat tarawih sendiri di rumah, mencari kultum di internet, hingga melaksanakan i'tikaf mandiri juga di rumah. Tak ada lagi medium yang bisa dilakukan secara bersama untuk menghindari penularan virus corona yang begitu cepat dan masif.

Inilah ujian sebenarnya bagi mereka yang bertaqwa. Ibadah kita benar-benar tak bisa dilihat orang, persis seperti makna puasa yang hanya bisa dinilai oleh diri sendiri dan Alloh SWT. Takkan ada orang yang tahu apakah kita benar-benar berpuasa atau sekedar menahan lapar dan haus. 

Ibadah dilakukan di ruang sunyi jauh dari keramaian masjid dan tatapan orang lain. Disinilah akhirnya akan teruji seberapa besar keikhlasan kita dalam beribadah, apakah benar-benar dari hati yang paling dalam atau memang berharap pujian dari orang yang melihat ibadah kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun