Sesungguhnya, tujuan berpuasa itu adalah untuk menahan hawa nafsu duniawi yang membelenggu manusia sepanjang hidupnya. Namun dalam kenyataannya, berpuasa terutama di bulan Ramadhan hanya sekedar menghasilkan lapar dan haus, namun hawa nafsu lainnya justru malah tidak terkendali.
Sebuah anomali ketika ternyata di bulan puasa pengeluaran justru bertambah untuk jajan saat ngabuburit, buka bersama, sahur bersama. Berat badan justru meningkat padahal siang harinya berpuasa.
Rupanya bulan puasa hanya sekedar memindahkan jadwal makan dari siang ke malam hari sehingga malah semakin membesarkan perut akibat setelah makan langsung tidur, tidak dipakai untuk bekerja. Bulan Ramadhan justru menjadi momen buat nangkring selepas maghrib dengan alasan bukber, bahkan lanjut setelah tarawih.
Restoran justru lebih ramai di bulan puasa ketimbang hari-hari biasa. Demikian pula dengan mal, pusat perbelanjaan, pertokoan, semua sibuk melayani pembeli di bulan Ramadhan.
Banyak orang datang untuk membeli baju baru, sepatu baru, aksesoris baru, atau apapun yang baru. Ada juga yang sekedar cuci mata, jalan-jalan sore sambil menanti buka puasa. Apalagi bila selesai shalat tarawih, biasanya dilanjutkan dengan kongkow-kongkow dan bergosip tak penting hingga menjelang sahur.
Menjelang akhir bulan Ramadhan berbondong-bondong manusia mudik ke kampung halamannya masing-masing. Ada yang membeli motor atau mobil baru, ada pula yang sekedar sewa demi menaikkan gengsi saat pulang kampung.
Jalanan macet menjelang hari raya tiba karena banyaknya orang kembali ke kampung halaman. Tempat wisata penuh setelah orang selesai menunaikan ibadah sholat Ied dan bersilaturahmi dengan sanak saudara.
Hadirnya wabah corona mengubah segalanya termasuk menghadapi bulan puasa ini seperti telah saya tulis di artikel sebelumnya. Kita dipaksa untuk menahan diri tidak keluar rumah walau sekedar untuk jajan atau beli baju baru. Tak ada lagi pusat perbelanjaan buka untuk menjual baju lebaran atau sepatu baru. Bahkan lebaranpun kita bakal tidak mudik demi menghindari penularan di kampung.
Corona mengembalikan makna puasa kepada khittahnya, bahwasanya manusia harus benar-benar mampu menahan hawa nafsu. Tidak sekedar makan minum saja, tapi juga menahan diri untuk tidak keluar rumah, berbelanja yang tidak penting.
Menahan diri untuk tidak kembali ke kampung halaman, apalagi jalan-jalan sekedar menghabiskan uang. Juga menahan diri untuk tidak bergosip dan bergunjing saat buka bersama atau nongkrong di warung kopi.
Manusia benar-benar dikekang di dalam rumah, mengisolasi diri, mengasingkan diri dari lingkungan sekitarnya. Inilah saat yang tepat untuk merenung, mengevaluasi diri, mengingat masa-masa lalu untuk menjadi pelajaran berharga dalam mengarungi hidup.
Setelah itu segeralah menyusun rencana yang akan dilaksanakan setelah wabah berakhir. Siapkan beberapa alternatif kemungkinan pengembangan diri di masa datang.
Kita harus kembali bangkit dengan siklus hidup yang sama sekali baru, berbeda dengan kebiasaan yang dilakukan sebelum wabah timbul. Kita akan menyaksikan Idul Fitri yang benar-benar murni setelah wabah berakhir.
Bukan sekedar menuntaskan sholat Ied berjamaah, tapi membuka babak baru peradaban manusia yang jauh berbeda dengan sebelum wabah. Kita jadi semakin rajin cuci tangan, mandi, tidak pernah meludah dan buang sampah sembarangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H