Buat kita pekerja tetap mungkin tidak terlalu kerasa, tapi buat guru, apalagi yang honorer tentu berat mengeluarkan uang sejumlah itu.
Apalagi, dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang mulai merangkak sejak wabah corona merebak. Tentu kuota perut lebih penting daripada kuota data, karena sekolah juga tidak menyediakan anggaran bagi guru untuk beli kuota sehingga harus menyisihkan gajinya sendiri untuk membelinya.
Kemungkinan kedua, kuota memori di hapenya cepat penuh sehingga harus rajin menghapus file-file yang dikirim murid-muridnya. Kebayang, kan, kalau harus memeriksa satu persatu tugas murid di hape, betapa mata ini cepat lelah dan berair kalau dipaksakan.
Kalau memori hape rata-rata 32 GB dan sudah terpakai aplikasi separuhnya, berarti dalam waktu dua bulan pasti cepat penuh kalau tidak segera dihapus. Paling tidak file murid-muridnya kudu dipindah ke laptop atau komputer di rumah untuk mengurangi kuota memori, meski malah menjadi menambah pekerjaan baru memindahkan file satu per satu.
Nah, sekarang persoalan lainnya, bagaimana mau live streaming dengan murid-muridnya kalau kuota guru saja terbatas?
Akhirnya, hanya bahan pelajaran saja yang dikirim dalam bentuk ppt atau pdf, sementara tugas-tugas ditulis di WA agar lebih irit kuota.
Lagipula tidak semua murid seperti anak saya yang bisa menikmati wifi gratis di rumah.
Kebayang, kan, kalau orangtuanya pekerja harian yang belum tentu bisa beli pulsa, mau cari wifi gratis sama saja bunuh diri.
So, perlu dipertimbangkan lagi metode belajar di rumah melalui internet, agar guru dan murid tidak kebobolan kuota data.
Sudah seharusnya pemerintah menggratiskan internet untuk keperluan pendidikan, tidak hanya aplikasinya saja seperti RG tapi juga kuotanya.