Di tengah wabah corona dan himbauan larangan untuk mudik saat lebaran nanti, para pemudik rupanya sudah mulai curi start. Dikutip dari detik.com di sini (1), berdasarkan pantauan Ditjen Perhubungan Darat terjadi lonjakan penumpang bis AKAP ke arah Jawa Tengah dan Jawa Timur mulai minggu kemarin. Para pemudik sebagian besar merupakan perantau yang sudah tidak lagi masuk kantor atau berdagang karena bekerja di rumah (WFH), dirumahkan, diberhentikan, atau sepi pelanggan.
Pulang kampung mungkin merupakan opsi terbaik bagi para perantau yang sudah tidak lagi memperoleh penghasilan tetap, namun pengeluaran tetap tinggi di kota besar seperti Jakarta.Â
Daripada memaksakan diri tinggal di Jakarta dengan ketidakpastian pendapatan yang tinggi, apalagi rumor bakal tidak diperbolehkan mudik membuat mereka semakin ketakutan sehingga lebih baik pulang kampung lebih dini untuk menghindari larangan tersebut. Paling tidak dengan tinggal di kampung kebutuhan sehari-hari masih terjamin, minimal bisa membantu bekerja di sawah atau ladang untuk tetap dapat bertahan hidup.
Pemerintah juga tak mungkin melarang mereka pulang kampung selama tidak ada jaminan hidup saat kehilangan penghasilan akibat wabah ini. Himbauanpun akhirnya menjadi angin lalu karena mereka sudah kebelet pulang kampung dan lebih baik mencuri start daripada suatu saat nanti diberlakukan lockdown yang lebih ketat. Lebih baik kumpul keluarga di kampung daripada merana sendirian di kota tanpa masa depan jelas.
Namun di sisi lain, pemerintah daerah termasuk warga lokal mulai mengantisipasi kehadiran para perantau yang mudik ke kampung halamannya. Bukan mereka tak mau menerima kembali saudaranya yang mudik, tetapi lebih karena kekhawatiran akan resiko penularan virus yang dibawa oleh perantau ke kampung halaman.Â
Pemkot Tegal sudah jelas-jelas memberlakukan lockdown, disusul beberapa daerah lain seperti Sleman yang mengantisipasi kedatangan pemudik dengan melakukan pemantauan terhadap para pendatang tersebut.
Selain itu, di beberapa desa di Jawa mulai memberlakukan lockdown lokal seperti di Sleman (2). Warga mulai berjaga-jaga di pintu masuk kampung untuk mencegah orang di luar warga kampung tersebut memasuki wilayah mereka. Hal tersebut dipicu oleh semakin banyaknya warga perantau yang mudik dari Jabodetabek dan wilayah zona merah lainnya.Â
Selain itu mereka juga khawatir adanya penumpang gelap alias orang lain yang tidak dikenal ikut mengungsi bersama para perantau karena tidak punya kampung halaman atau kampung halamannya jauh di luar pulau Jawa sehingga mereka menumpang rekannya pulang kampung.
Dua hal yang kontras ini bakal berpotensi memicu segregasi sosial yang dapat berdampak pada renggangnya hubungan persaudaraan akibat wabah ini. Di satu sisi banyak orang kembali ke kampung karena sudah tak ada lagi penghasilan di kota, namun di sisi lain orang kampung takut menerima mereka karena khawatir turut membawa virus dalam tubuh mereka walau belum tentu terlihat sakit. Persoalan ekonomi sebagai dampak dari masalah kesehatan menjadi faktor utama yang dapat menimbulkan gesekan sosial yang dapat memicu chaos apabila tidak dikendalikan secara dini.
Solusi yang paling tepat tentu tetap menerima para pemudik dengan catatan mereka harus diperiksa secara cepat alias rapid test untuk memastikan bahwa para pemudik tersebut tidak membawa virus dari wilayah zona merah. Apabila ditemukan tanda-tanda menyerupai orang yang terpapar virus corona, segera lakukan isolasi diri secara mandiri mengingat keterbatasan jumlah rumah sakit dan APD yang ada di daerah. Kecuali bila memang sudah dalam kondisi parah, mau tak mau harus rela dikarantina di rumah sakit hingga sembuh.
Kita hanya bisa berharap wabah ini berakhir secepatnya agar situasinya kembali normal seperti sediakala. Namun dibutuhkan kesadaran semua pihak untuk bersabar dengan lebih banyak berada di rumah ketimbang di jalan atau di luar rumah untuk mencegah penyebaran virus yang semakin meluas ini.