Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Ketika Hujan (Tak Lagi) Bikin Tidur Nyenyak

28 Februari 2020   10:26 Diperbarui: 28 Februari 2020   11:29 5317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banjir di Depan Rumah (dokpri)

Sejak pindah ke daerah Ciledug sepuluh tahun lalu, saya sudah diwanti-wanti kalau daerah tersebut rawan banjir. Oleh karena itu saat membangun rumah sengaja tanahnya ditinggikan untuk menghindari banjir yang sering menggenangi jalan di depan rumah. 

Walau jalan depan rumah sering tergenang, namun tak pernah sekalipun air mampir ke rumah kami karena memang sudah ditinggikan sebelumnya. Bahkan saat hujan lebat sekalipun termasuk kejadian tahun 2013 saat banjir besar tiba, rumah kami masih selamat dari amukan banjir, hanya sedikit genangan di halaman rumah saja.

Namun situasi mulai berubah ketika jalan di depan rumah di beton dan saluran air sekunder di samping jalan utama dekat rumah dinormalisasi alias dibeton juga. 

Lebar saluran air semakin sempit karena termakan oleh beton di sisi kiri dan kanannya, serta kedalamannya semakin dangkal karena bertambah banyaknya lumpur mengendap yang nyaris tak pernah diangkat atau dikeruk oleh dinas terkait.

Pemda setempat hanya melakukan betonisasi tanpa memperdalam saluran sehingga saluran tersier dari rumah atau gang posisinya menjadi lebih dalam dari saluran sekunder.

Akibatnya mulai terasa saat hujan lebat dan berlangsung lama seperti kejadian tahun baru kemarin. Saluran sekunder yang mengecil tersebut tak lagi mampu menampung derasnya air dari hulu hingga melimpahkannya ke saluran tersier yang terdapat di gang-gang. 

Semua jadi terbolak-balik. Air dari saluran sekunder malah masuk ke saluran tersier menyebabkan genangan pada permukaan jalan yang berimbas masuk ke rumah-rumah penduduk di sekitarnya.

Awalnya saya berpikir mungkin kejadian di awal tahun baru itu hanyalah musibah besar yang terjadi setiap 5-7 tahun sekali seperti kejadian tahun 2007 dan 2013. Namun ternyata pada hari Selasa dini hari lalu (25/02/2020) terjadi lagi banjir nyaris seperti awal tahun baru.

Padahal hujan lebat baru dimulai pukul 11 malam. Tidak seperti tahun baru yang dimulai sejak sore, reda sejenak dan kembali membesar pukul 9 malam harinya. Air masuk ke halaman rumah pukul 2 malam saat saya terjaga dari tidur akibat hujan deras tiada henti.

Mobil pun terpaksa dipindahkan ke ujung jalan yang lebih tinggi dan ketika kembali ke rumah banjir di jalan sudah setinggi betis. Sejak itu saya tak bisa tidur lagi dan segera memindahkan barang-barang lain ke lantai atas termasuk kasur dan pakaian di lemari untuk mengantisipasi kejadian serupa awal tahun ini.

Setiap jam saya pantau halaman dan air terus meninggi hingga menyentuh teras bawah rumah. Jam 5 pagi air nyaris masuk ke dalam rumah dan sudah sampai teras depan.

Untunglah hujan sedikit mereda tidak lagi deras seperti sebelumnya. Permukaan air kembali turun di bawah teras dan tetap stabil hingga hujan benar-benar berhenti pukul 9 pagi. Perlahan muka air mulai turun dan baru benar-benar surut sekitar pukul 4 sore. 

Alhamdulillah Tuhan masih melindungi rumah kami hingga air tidak sampai masuk ke rumah. Namun persoalannya bukanlah hujan atau banjir semata, tetapi sulitnya menghilangkan trauma akibat banjir.

Kejadian kedua dalam dua bulan terakhir membuat saya benar-benar tak lagi dapat tidur nyenyak di malam hari, apalagi bila mendengar suara hujan. Kalau dulu saya bisa menikmati derasnya hujan sambil kemulan di kasur, sekarang justru harus siaga untuk mengantisipasi masuknya air ke dalam rumah. 

Repotnya dalam dua peristiwa tersebut hujan selalu turun di malam hingga dini hari sehingga membuat waktu tidur menjadi terbatas. Apalagi pada hari Rabu dini hari hujan deras kembali melanda membuat trauma tersebut muncul kembali.

Hujan adalah berkah, namun banjir adalah musibah. Perubahan tata ruang yang turut mengurug situ-situ dan embung air membuat banjir dengan mudah terjadi di mana-mana. 

Situ-situ dan embung yang seharusnya tetap dipelihara untuk menampung air saat kelebihan volume akibat hujan atau limpasan sungai berubah menjadi permukiman. Akibatnya wajar kalau akhir-akhir ini sering terjadi banjir, karena sudah tidak ada lagi ruang trnasit bagi air yang datang dari langit.

Pemerintah pusat dan daerah hanya bisa saling menyalahkan dengan wacana normalisasi vs naturalisasi tanpa ada tindakan kongkrit.

Apalagi anggaran semakin telat cair akibat lamanya proses restrukturisasi instansi pemerintah sehingga beberapa kegiatan terpaksa ditunda menunggu struktur birokrasi yang baru. Padahal banjir membutuhkan penanganan yang cepat, bukan memperbanyak debat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun