Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menguak Ruang Gelap Penyelenggaraan Pemilu Pasca-OTT KPK

15 Januari 2020   09:49 Diperbarui: 16 Januari 2020   06:56 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak pagelaran Pemilu serentak, baik Pileg maupun Pilpres, tahun 2019 dimulai, bahkan jauh sebelum Pemilu itu sendiri berlangsung, masyarakat lebih fokus pada capres bahkan sampai terjadi polarisasi hingga di tingkat akar rumput. 

Pertarungan seru para capres tampak lebih menarik perhatian publik ketimbang pemilihan anggota DPR, DPRD, dan DPD. Pemilihan caleg nyaris luput dari perhatian masyarakat mulai dari awal kampanye hingga penetapan para anggota legislatif terpilih karena terlalu sibuk mengamati proses pilpres daripada pileg.

Masyarakat lebih fokus pada kecurangan yang terjadi pada Pilpres daripada mengurusi perolehan suara para caleg. Sepertinya para caleg tersebut kurang menarik minat masyarakat sehingga terkesan asal-asalan dalam memilih, yang penting partainya lolos electoral threshold sehingga dapat mencalonkan presiden untuk lima tahun berikutnya. 

Media juga turut menyumbang keriuhan Pilpres dan mati surinya pileg karena minimnya pemberitaan mengenai kecurangan dalam pileg.

Padahal pertarungan sebenarnya justru terjadi di antara caleg baik antarpartai maupun di dalam partai itu sendiri. Para caleg bertarung mati-matian karena sudah tidak ada lagi istilah "nomor sepatu" sehingga mereka berani menghalalkan segala cara demi menduduki kursi legislatif yang diidam-idamkan selama ini. 

Saat kampanye banyak caleg yang berani bertaruh menggadaikan harta bendanya untuk meraih posisi legislatif walau dengan risiko tidak kembali modal bila gagal. Setelah penghitungan selesai, mereka yang nyaris lolos kembali bertarung untuk memperebutkan suara dari caleg yang gagal untuk menambah perolehan suara agar memenuhi kuota minimal kelolosan untuk menjadi anggota legislatif.

Ruang gelap inilah yang ternyata dimanfaatkan oleh penyelenggara Pemilu dari berbagai tingkatan untuk "bermain" dengan partai dan para caleg yang ingin duduk di kursi legislatif. 

Lemahnya pengawasan terhadap perolehan suara caleg membuat mereka leluasa untuk memainkan wewenangnya menetapkan para caleg terpilih.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa suara para caleg yang gagal dialihkan pada caleg yang nyaris terpilih namun kurang beberapa ratus atau ribu suara lagi. Biasanya pengalihan suara berlangsung damai karena sudah ada deal-deal tertentu di antara mereka sendiri.

Namun ternyata ada juga pihak yang kurang puas sehingga menggugat ke pengadilan. Kasus yang pertama kali mencuat adalah suara Mulan Jameela yang mengkudeta suara caleg sesama partainya sendiri. 

Pertarungan seru tersebut dimenangkan oleh Mulan sehingga beliau dengan mulus duduk di kursi empuk Senayan. Walau sempat terjadi kegaduhan, tetapi akhirnya bisa diselesaikan secara adat dan kasus tersebut tenggelam dengan sendirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun