Tahukah Anda Matryoshka? Sejenis boneka Rusia yang diisi boneka yang lebih kecil, begitu seterusnya hingga ukuran terkecil. Masih sempatkah mengalami masa dimana kado dibungkus model Matryoshka, besar bungkusnya kecil isinya?
Sebelum jaman segalanya butuh uang seperti sekarang ini, saya masih sempat menikmati masa-masa dimana para tamu undangan membawa kado sebagai hadiah pernikahan. Sebelum krisis moneter atau dibawah tahun 1998, kado berupa uang masih tabu, paling-paling dalam bentuk angpao kalau acara pernikahannya dilakukan di rumah di kampung.
Masih ingat dulu orang tua kalau diundang acara resepsi pasti siangnya atau beberapa hari sebelumnya mampir ke Pasar Melawai untuk mencari kain atau barang elektronik buat kado. Setelah itu baru dicari pembungkus kado berupa kertas motif cinta atau sejenisnya. Karena banyak yang beli buat kado, di toko tersebut juga menyediakan jasa pembungkus kado sehingga kita tak perlu repot, tinggal bawa tulisan kecil ucapan selamat menikah yang sudah disiapkan dari rumah untuk disisipkan dalam kado.
Biasanya orang tua membeli handuk, taplak meja, seprei, atau setrikaan buat kado, tergantung siapa yang mengundang. Kadang beli satu set piring keramik atau radio bila yang mengundang bos besar atau acaranya di gedung mewah. Memang agak berat juga bawanya, tapi karena sudah tradisi apa boleh buat, mau tak mau harus diangkut juga.
Saya juga pernah jadi penerima tamu undangan dan ikutan membuka kado kala tante menikah dengan om. Berhubung acaranya di gedung, kami terpaksa sewa truk khuaus untuk mengangkut kado yang jumlahnya melimpah dan ukurannya besar. Begitu sampai di rumah dan satu persatu dibuka, wow, aneka peralatan rumah tangga tumpah ruah di ruang tengah.
Ada beberapa set sprei, puluhan set piring gelas dan sendok garpu, taplak meja, beberapa buah setrika, kelambu, bantal guling, panci, kompor minyak, bahkan ada yang membelikan televisi dan kulkas!! Saking banyaknya akhirnya pengantin memilih barang-barang yang diperlukan saja, selebihnya dibagikan ke saudara-saudara yang lain. Sebagian dijual murah atau disimpan buat kado suatu saat nanti.
Pernah kejadian kado yang pernah diberikan pada pengantin balik lagi ke pemberinya saking banyaknya kado menumpuk dan lupa dari siapa saja yang pernah memberikan. Kebetulan si pemberi kado masih ingat kado yang diberikannya, jadi kita hanya bisa tertawa lepas ketika membuka kado tersebit. Maklum, yang memberi dan menerima masih saudara dekat dan sering berkumpul.
Waktu berjalan dan seiring dengan krisis moneter, terjadi perubahan perilaku pemberian kado. Mula-mula dalam kado teeselip tulisan "tanpa mengurangi rasa hormat, sebaiknya kado tidak lagi berupa barang" atau "dengan tidak mengurangi rasa hormat, mohon agar kado dapat diberikan berupa uang tunai", atau kalimat sejenis lainnya. Intinya jangan lagi memberikan barang tapi diganti dengan uang.
Selama beberapa waktu masih ada juga yang memberikan barang dan tetap diterima. Namun lama kelamaan tradisi pemberian barang mulai hilang, berganti dengan tradisi memberikan amplop. Besarannya tergantung tempat dan siapa yang mengundang. Semakin mewah tempat dan semakin tinggi jabatan yang mengundang, semakin besar pula nilai uang yang disumbangkan.
Memang sejak krisis moneter, biaya pernikahan melonjak tajam. Dulu mungkin cukup jual motor, sekarang kudu jual mobil untuk melaksanakan pesta pernikahan. Akhirnya sekarang resepsi banyak dilakukan di rumah untuk mengurangi biaya sewa gedung, tapi akibatnya sering ketemu jalan ditutup karena dipakai untuk acara resepsi.Â
Jadi wajar kalau kadonya sekarang berupa uang untuk menutupi sebagian biaya resepsi, bukan sekedar untuk bulan madu pengantinnya saja. Kadang malah sang pengantin tak dapat apa-apa karena sudah habis untuk membayar sewa ini itu, bahkan ikut nombok karena pendapatan orang tua pas-pasan.
* * * *
Ada plus minus pemberian kado atau uang dalam acara pernikahan. Kalau kado, plusnya langsung dapat digunakan, atau minimal ada kenangan siapa yang memberinya. Apalagi kalau yang memberi orang spesial, pasti akan terkenang selamanya. Misalnya kado mantan pacar dulu atau pejabat sekelas walikota tentu akan disimpan menjadi kenangan tak terlupakan.
Minusnya, banyak barang sejenis yang akhirnya tak terpakai, seperti setrikaan, kan cukup satu atau maksimal dua dalam satu rumah. Menjual kado juga bukan hal mudah, jadi lebih baik dibagi atau disimpan untuk kado berikutnya. Jadi tidak ada niat untuk balik modal setelah menyelenggarakan pesta pernikahan.
Awalnya memberi uang terkesan tak etis karena dianggap membayar makanan dan sewa gedung. Namun lama kelamaan akhirnya menjadi tradisi hingga sekarang. Uang memang lebih praktis, simple, dan bisa digunakan untuk membeli apa saja termasuk keperluan sehari-hari sang pengantin. Hanya kesannya agak kurang sopan, apalagi kalau nilainya terlalu kecil, bisa-bisa dianggap pelit oleh sang pengundang atau pengantin.Â
Ada kesan seolah resepsi pernikahan sekarang lebih kepada 'menjual' acara, apalagi bagi orang terkenal yang sampai menjual ritual pernikahannya ke sebuah stasiun televisi. Resepsi bukan lagi acara yang sakral, tapi malah seperti jual beli di restoran saja. Wajar kalau stand kambing guling cepat habis karena para tamu merasa sudah 'membayar' makanannya. Bahkan ada yang salaman belakangan sekalian pamit setelah puas menikmati seluruh hidangan yang disajikan.
Saya sendiri merindukan suasana buka kado yang misterius itu, penasaran apa isinya. Kadang ada yang iseng membungkus seperti Matryoshka, bungkusnya berlapis tapi isinya kecil, walau kadang berupa cincin emas kalau lagi beruntung. Kalau sekarang cuma penasaran berapa rupiah yang ada dalam amplop dan sudah bisa diduga dilihat dari ketebalannya. Jadi ga seru lagi buka amplopnya, tak seperti buka kado seperti Matryoshka tadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H