Tak terasa waktu sudah semakin sore sehingga kami harus buru-buru menuju ke Sota, desa perbatasan dengan Papua Nugini sebagai salah satu obyek wisata paling menarik di Merauke. Jarak 83 Km dilalap dalam waktu 40 menit saja, maklum kondisi jalan mulus seperti jalan tol dan nyaris tak ada papasan dengan kendaraan lain. Matahari menjelang terbenam ketika kami tiba di sana. Suasananya jauh berbeda dengan tiga tahun lalu ketika saya berkunjung ke tempat yang sama. Tak ada lagi tugu buatan seorang polisi di batas negeri, berganti dengan pos perbatasan yang megah. Ironisnya, di sisi Papua Nugini justru tak ada apapun selain patok tanda batas negara dan rumah semut yang dipagar. Sepertinya mereka tak butuh-butuh amat pos yang megah, tapi jelas marka batasnya.
Tak lama kami berada di perbatasan karena mentari sudah tak tampak lagi batang hidungnya. Perjalanan kembali menembus gelap gulita taman nasional Wasur yang sunyi senyap. Dalam perjalanan supir bercerita bahwa kondisi Merauke berbeda dengan Papua lainnya. Di sini relatif aman dan nyaris tak ada bentrok warga karena sebagian besar sudah diisi oleh pendatang. Para pendatang inilah yang menghidupkan kota dan menjadi pendorong tumbuhnya ekonomi di wilayah tersebut.
Esoknya perjalanan dilanjutkan menuju Timika via Jayapura. Cukup lama kami transit di Jayapura, sekitar dua jam karena harus berganti pesawat. Sebenarnya semua pesawat tujuan akhirnya Jakarta, hanya yang dari Merauke tidak melalui Timika tapi langsung ke Makassar. Jadi kami naik pesawat Jayapura - Jakarta melalui Timika dan Makassar. Sekitar 55 menit saja penerbangan dari Bandara Sentani menuju Bandara Moses Kilangin, namun cukup ngeri juga ketika pesawat melewati pegunungan Jayawijaya yang terkenal angker tersebut, membelah Papua bagian utara dan selatan.
Sampai di Timika, kami disambut truk bus yang mengangkut penumpang dari apron ke terminal kedatangan. Lucu juga bentuknya melihat truk yang dimodifikasi menjadi angkutan penumpang. Dari bandara kami langsung ke lapangan survei lokasi hingga menjelang Maghrib. Di tengah perjalanan suasana agak mencekam ketika melewati kerumunan massa yang sedang melakukan upacara bakar batu. Saya agak khawatir juga mengingat acaranya berdekatan dengan 1 Desember, namun tampak aparat kepolisian sigap menjaga mereka untuk tidak berbuat macam-macam.
Pulang dari survei, kami kembali melalui lapangan yang digunakan untuk upacara bakar batu tadi. Menurut sopir yang mengantar kami, mereka yang melakukan upacara biasanya berasal dari pegunungan, sementara Timika sendiri sebenarnya merupakan daerah pantai. Hal itu tampak dari postur tubuh yang pendek, menandakan mereka berasal dari pegunungan. Berbeda dengan orang pantai yang postur tubuhnya lebih tinggi. Bubaran massa tersebut memacetkan jalan yang kami lalui dan terpaksa mengalah daripada mengundang keributan.
Timika sendiri kondisinya sudah cukup kondusif karena ketegasan aparat di sana. Awalnya saya mengira suasananya seperti kota-kota eks tambang di Kalimantan, ternyata sama saja dengan Merauke atau Wamena. Mungkin bule-bulenya banyak yang tinggal di Kuala Kencana, bukan di Timika. Hanya memang tampak ketimpangan antara karyawan tambang dengan non tambang sangat jauh. Harga makanan di sini cukup mahal karena menyesuaikan dengan gaji para petambang, namun menjadi tak terjangkau oleh mereka yang bekerja di sektor non tambang.