Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dinas Air Mata dan Dinas Mata Air

3 November 2019   09:32 Diperbarui: 3 November 2019   09:35 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini kita heboh dengan munculnya item Lem Aibon, pulpen, dan alat tulis lainnya dalam rancangan usulan anggaran dinas yang nilainya dianggap di atas kewajaran. 

Berbagai komentar baik yang mendukung maupun menolak keras ramai memenuhi jagat media sosial maupun media online lainnya. Kecurigaanpun muncul, siapakah yang sebenarnya 'bermain-main' dalam penyusunan anggaran tersebut, apakah oknum dinas, oknum anggota DPRD, atau malah pimpinan daerahnya sendiri.

Pengalaman saya waktu bertugas di Bappeda dulu, menyusun anggaran itu memang gampang-gampang susah. Gampangnya karena masing-masing dinas sudah 'dijatah' anggarannya sesuai dengan kinerja tahun sebelumnya ditambah sekian persen jika ada kenaikan APBD. Namun karena beban kerja setiap dinas berbeda, ada dinas yang anggarannya besar sekali setinggi gunung, ada pula yang anggarannya tipis, setipis sutera. Disinilah muncul istilah dinas air mata dan dinas mata air.

Susahnya karena tidak semua dinas siap dengan kegiatan yang diusulkan sesuai dengan anggaran yang tersedia. Untuk dinas atau instansi mata air seperti dinas pendidikan, besarnya alokasi anggaran membuat mereka sedikit gagap untuk melahap anggaran sebesar itu.

Padahal kinerja dinas diukur dengan seberapa jauh mereka mampu menyerap anggaran secara maksimal. Oleh karena itu amat sangat wajar bila akhirnya muncul usulan memasukkan lem aibon, pulpen, dan atk lainnya karena saking bingungnya menghabiskan alokasi anggaran yang demikian besar.

Sebaliknya dengan dinas atau instansi air mata, kadang karena beban pekerjaannya sedikit dan juga sedikitnya anggaran, mereka bingung mencari 'judul' anggaran yang tepat. Akhirnya kegiatannya lebih banyak mengarah pada kajian-kajian konsultasi yang tidak jelas outputnya, atau kegiatan sosialisasi untuk mempercepat proses penyerapan  anggaran. Biasanya dinas atau instansi ini dibuat bukan karena memang diperlukan, tapi lebih untuk menampung para pejabat yang 'terbuang' dari posisi strategis.

Selain itu pengukuran kinerja berbasis anggaran menyebabkan banyak instansi yang berlomba menghabiskan uang negara hingga menyisakan 1-2% saja untuk dikembalikan ke kas negara. 

Bila penyerapan kurang dari 90% maka tahun berikutnya anggaran instansi tersebut akan dikurangi karena dianggap tidak mampu menyerap sampai angka maksimal. Akibatnya apapun dibelanjakan walau belum tentu berguna demi menghabiskan anggaran.

Kesenjangan inilah yang membuat para abdi negara berebut untuk menduduki posisi penting pada dinas mata air bagaimanapun caranya. Sikut-sikutanpun tak terhindarkan, makanya jangan heran kalau di daerah kita temukan kepala dinas PU dijabat oleh bekas kepala sekolah atau sarjana agama karena kedekatannya dengan pimpinan daerah. Sementara insinyur sipil malah ditaruh menjadi kepala kantor arsip alias 'diarsipkan' karena berseberangan dengan pimpinannya.

Banyaknya anggaran di dinas mata air membuat instansi tersebut tentu mengundang semut-semut mengerubungi gula. Banyaknya gula yang harus dibagi membuat para abdi negara di dalamnya pontang panting mencari slot anggaran yang bisa 'dititipkan' gula tersebut. Apalagi kalau ada acara-acara yang tidak menggunakan anggaran negara alias non budgeter, dinas inilah yang pertama kali dilirik untuk memberikan sumbangan. 

Salah satu cara menitipkan tentu dengan menyisipkan barang atau kegiatan yang tidak terlalu penting di antara ribuan item kegiatan di dinas tersebut, sambil berharap tidak terkena sisir para anggota dewan dan pimpinan daerah. Toh sebenarnya mereka juga sudah TST koq asal tidak ada yang berisik. Masuknya lem aibon, pulpen, dan sebagainya merupakan contoh terkini bagaimana menyusupkan barang dalam ribuan item usulan kegiatan yang didanai APBD.

Sebaliknya dengan dinas air mata, karena anggarannya sedikit nyaris tak ada yang melirik. Namun kesejahteraan pegawainya juga jauh berada di bawah pegawai yang bekerja di dinas mata air. Ibaratnya kalau kantor dinas mata air susah cari parkir saking penuhnya, kalau kantor dinas air mata motorpun masih bisa dihitung jari yang parkir.

* * * *

Lalu bagaimana menghilangkan citra dinas mata air dengan air mata? Tentu beban kerjanya harus dibagi rata, demikian pula dengan anggarannya. Dibagi rata memang belum tentu sama, tapi harus proporsional pembagian tugasnya. Semakin besar beban kerja harus semakin banyak yang terlibat, demikian pula sebaliknya. Sementara beban tugas dinas yang kecil bisa digabung dengan dinas lain sejenis sekaligus untuk menghemat postur anggaran agar tidak ada lagi istilah dinas tempat 'mengarsipkan' pejabat yang terbuang.

Apalagi dengan adanya keinginan presiden untuk menghapus eselon 3 dan 4, maka diharapkan tidak ada lagi rebutan posisi di bawah kepala dinas. Semua bekerja dalam tim yang bekerja sesuai tugas dan fungsi dinas. Apabila tugas tersebut sudah selesai tim dapat dibubarkan dan dibentuk tim yang baru untuk tugas baru lagi, demikian seterusnya sehingga semua bekerja, tidak lagi menjadi raja kecil.

Dengan demikian anggaran digunakan untuk membiayai kerja tim-tim yang dibentuk sesuai kebutuhan, bukan lagi berdasarkan struktur organisasi yang lamban dan boros anggaran serta belum tentu dapat bekerja secara optimal. 

Pembentukan tim pokja yang berubah setiap tahun anggaran membuat anggaran dapat digunakan secukupnya, seperlunya sesuai dengan keperluan tim sehingga tidak ada lagi anggaran yang dipaksakan masuk hanya untuk memenuhi jumlah struktur yang ada.

Ke depan, semoga tidak ada lagi dinas mata air dan dinas air mata. Ujung tombak penggunaan anggaran ada di tim pokja yang terjun langsung ke lapangan dengan beban target yang harus dicapai beserta hasil nyatanya, bukan sekedar menghabiskan anggaran saja. Kalau tidak sesuai target dan tidak ada hasil, tim pokja bisa dibubarkan dan dibentuk tim baru lagi untuk mengerjakan tugas-tugas lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun