Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Antara Kenaikan Iuran BPJS dan Lem Aibon

31 Oktober 2019   11:29 Diperbarui: 4 November 2019   14:23 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Zaman sudah milenial, tapi lagi-lagi pemikiran masih saja kolonial. Itulah yang terjadi pada pengambilan kebijakan di negeri ini. Setiap ada defisit anggaran entah itu subsidi BBM, listrik, pelayanan kesehatan seperti BPJS, selalu saja diambil jalan pintas dengan menaikkan harga atau iuran. Padahal masih banyak cara lain untuk meningkatkan pendapatan tanpa harus menaikkan harga atau iuran tersebut.

Pemikiran birokrasi yang kolot dan kaku menutup defisit dengan cara menaikkan harga atau iuran menjadi satu-satunya jalan pintas yang mudah dan cepat. Kreativitas menjadi beku dan tabu di tangan aparatur negara dalam mengatasi kekurangan pemasukan negara. Nyaris tidak ada pemikiran untuk menggali sumber-sumber pendapatan potensial karena takut terbentur aturan dan berpotensi melanggar hukum alias dipidana. 

Namun ironisnya, kalau bicara menghabiskan anggaran, kita sangat kreatif mencari celah-celah aturan yang membolehkan. Contoh paling gres yang lagi heboh saat ini adalah pengadaan lem aibon. Skandal tersebut bak gunung es yang sedikit muncul ke permukaan namun jauh lebih besar di dasar lautan.

Berbagai cara dilakukan untuk menghabiskan anggaran yang dialokasikan 'demi' peningkatan kinerja instansinya. Kinerja dianggap baik kalau mampu menyerap anggaran maksimal, nyaris tak bersisa. Sementara kinerja dianggap buruk kalau masih banyak anggaran tersisa di akhir tahun.

Masalah hasil tak terlalu penting apakah bermanfaat bagi masyarakat atau tidak. Asal wujudnya kelihatan dan lolos pemeriksaan inspektorat dan BPK, apalagi kalau sudah serah terims, selesailah segala urusan. Setelah itu tak terpakai atau malah rusak, bukan urusan pemerintah lagi.

Selain perilaku aparatur seperti itu, masyarakatnya juga manja dan konsumtif. Sakit sedikit saja langsung ke dokter, padahal obat paling mujarab adalah istirahat. Obat dalam jangka pendek mungkin membantu, namun kalau terlalu sering konsumsi dalam jangka panjang justru memicu penyakit lain yang tak kalah ganasnya.

Akhirnya justru penyakit berat tak semua bisa di-cover BPJS karena anggaran habis untuk membiayai masyarakat yang manja. Seharusnya penyakit berbiaya tinggilah yang dibantu oleh BPJS, bukan batuk pilek flu atau demam ringan. Sekarang kebalikannya, pasien berpenyakit ringan malah yang banyak mendapat manfaat ketimbang penyakit berat.

* * * *

Tentu menjadi sebuah paradoks ketika di satu sisi pemerintah membutuhkan anggaran besar untuk BPJS, di sisi lain justru malah menghamburkan anggaran untuk pengadaan barang yang tidak penting seperti lem aibon.

Sudah seharusnya pola pikir aparatur perlu dibalik. Carilah cara mencegah penyakit untuk mengurangi masyarakat berobat. Carilah sumber-sumber pendanaan lain, bukan dengan menaikkan iuran.

Aparat juga harus dididik kreatif menggali potensi sumber pendapatan negara termasuk dari perdagangan online yang sama sekali belum tergarap. Aturan harus disesuaikan dengan kondisi di zaman milenial, bukan lagi mengacu pada aturan berbau kolonial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun