Beri aku sepuluh pemuda, akan kuguncang dunia - Soekarno
Sudah sekian lama birokrasi menampakkan wajahnya yang kusut oleh carut marutnya peraturan yang dianggap menghambat pembangunan. Birokrasi yang kebanyakan diisi oleh generasi kolonial dianggap tak mampu lagi mengikuti perkembangan zaman. Padahal negara lain sudah mulai bebenah, namun kita masih saja tertinggal, salah satunya karena lambannya birokrasi bergerak.
Hadirnya generasi milenial memimpin sebuah kementerian tentu merupakan terobosan baru untuk mendobrak kemapanan birokrasi selama ini. Kita patut mengapresiasi langkah presiden yang memasukkan nama-nama milenial yang sudah selesai dengan bisnisnya untuk menahkodai kementerian sekaligus mencari ruang kosong yang selama ini kerap terabaikan akibat mbuletnya birokrasi.
Pemikiran out of the box yang selama ini mereka lakukan saat mengelola bisnis diharapkan dapat mendobrak benteng birokrasi yang terlalu kokoh untuk ditembus. Apalagi target presiden yang tidak lagi berorientasi proses melainkan hasil dapat memicu percepatan perubahan yang selama ini dinilai lamban kalau tak boleh dibilang jalan di tempat.
Namun mengubah birokrasi tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Sudah banyak orang pintar dan pengusaha sukses terjerembab ketika masuk birokrasi. Saya tak perlu menyebut satu persatu kasus yang terjadi, namun itulah kenyataannya, banyak anak muda yang berinovasi ketika berhadapan dengan birokrasi terpaksa harus mengalah atau menghuni hotel prodeo karena dianggap 'melanggar' aturan yang sebenarnya sudah ketinggalan zaman.
Saat menjadi pengusaha, orientasinya adalah keuntungan, baru kemudian inovasi untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar lagi. Nilai tambah adalah efek samping yang baik dari pertumbuhan sebuah usaha, seperti memanjakan konsumen, peluncuran produk baru, cashback, harga promo, dan sebagainya. Aturan perusahaan dapat diubah bila sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi zaman dan berpotensi menurunkan keuntungan. Pegawai yang tidak cocok bisa diganti dengan fresh graduate yang membawa ide-ide segar buat perusahaan.
Hal ini berbeda dengan birokrasi. Mengubah aturan saja butuh waktu hingga berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun lamanya. Itupun kalau ganti pejabat ganti lagi idenya, makin panjang lagi waktu penyelesaiannya. Apalagi merekrut pegawai baru dan memecat pegawai lama, tak semudah itu ferguso. Sudah terkenal kalau memecat PNS itu bukan hal yang mudah, kecuali kalau tersangkut kasus pidana. Kalau cuma kinerja jelek paling mentok dipindahtugaskan ke tempat lain. Merekrut PNS baru yang sesuai dengan keinginan juga tak gampang, karena materi tesnya masih menggunakan pola lama.
Menabrak aturan juga bukan merupakan solusi walau sifatnya administratif sekalipun. Pelanggaran aturan yang dianggap obsolete bisa dianggap melakukan maladministrasi yang berujung pada tuduhan pidana. Belum lagi aturan yang satu kadang bertabrakan dengan aturan lain yang dikeluarkan oleh institusi lain. Saling sengkarut aturan itulah yang menyebabkan mesin birokrasi bergerak lamban dan orang pintar di dalam pemerintahan makin malas untuk berinovasi.
Contoh terkini dan masih gres adalah dikeluarkannya seorang Garuda muda kita dari sekolahnya lantaran harus membolos lebih dari dua bulan selama pelatihan di Inggris. Hanya gara-gara tidak ada surat pemberitahuan dari kementerian pendidikan atau PSSI pihak sekolah tega untuk memecat yang bersangkutan dengan alasan tidak masuk sekolah tanpa alasan yang jelas. Padahal seharusnya masalah tersebut bisa diselesaikan tanpa harus mengeluarkan yang bersangkutan.
Belum lagi budaya ewuh pakewuh yang masih hinggap di jajaran birokrasi. Semua harus dilakukan secara berjenjang, tidak boleh melompat langsung ke pimpinan tertinggi. Demikian pula yang muda kepada yang lebih tua, walau secara struktur berada di pucuk pimpinan tapi tetap saja harus menghormati yang lebih tua dan senior di institusi tersebut.