"Birokrasi yang panjang harus kita pangkas. Eselonisasi harus disederhanakan. Eselon I, eselon II, eselon III, eselon IV, apa tidak kebanyakan? Saya minta untuk disederhanakan menjadi 2 level saja, diganti dengan jabatan fungsional yang menghargai keahlian, menghargai kompetensi."
(Jokowi dalam pidato pelantikan Presiden Periode Kedua 2019-2024)
Selama ini jabatan fungsional, selain tenaga pengajar (guru, dosen, widyaiswara) dan tenaga kesehatan (dokter, perawat), apalagi yang sudah level madya ke atas, lebih banyak berfungsi sebagai bak penampungan para mantan pejabat yang terlempar akibat tidak terpakai menteri atau gubernur atau bupati yang baru.
Jabatan fungsional juga lebih banyak menekankan pada administrasi pengumpulan angka kredit ketimbang menciptakan inovasi atau terobosan baru.
Jabatan fungsional selalu kalah pamor dari jabatan struktural yang lebih bergengsi dan dihormati masyarakat. Jabatan dirjen, direktur, kepala dinas, lebih sering didengar orang dan memiliki derajat lebih di mata masyarakat ketimbang misalnya peneliti madya atau peneliti utama, padahal pangkat dan golongannya setara.Â
Tunjangannya pun bahkan bisa lebih besar dari jabatan struktural selama angka kreditnya melampaui target yang ditetapkan.
Jabatan struktural ibarat kerajaan yang mengenal kasta, mulai dari brahmana setingkat dirjen atau sekda hingga sudra sekelas staf biasa. Semakin tinggi derajat semakin tinggi pula wewenang dan perintahnya harus dituruti oleh para hulubalang yang menjadi anak buahnya.Â
Itulah yang membedakannya dengan jabatan fungsional yang lebih egaliter karena prestasinya dinilai dari pekerjaan atau fungsi yang telah dikerjakan, bukan karena perintah sana sini.
Keinginan presiden tentu patut kita apresiasi mengingat terlalu banyaknya jabatan struktural membuat birokrasi menjadi lamban karena harus menunggu perintah secara berjenjang.Â
Kebayang suatu disposisi dari dirjen hingga ke staf bisa satu sampai dua minggu lamanya, bahkan pernah sampai sebulan baru dikerjakan. Hal ini disebabkan oleh sibuknya para pimpinan di bawahnya sehingga tidak sempat mendisposisi perintah pimpinan dalam waktu singkat.
Kebanyakan jabatan struktural juga membuat jumlah staf PNS menjadi sedikit sehingga akhirnya mengangkat banyak pegawai honorer yang sekarang disebut sebagai P3K agar menjadi bagian dari ASN yang sifatnya temporer.
Pekerjaan yang seharusnya bisa dilakukan dengan cepat menjadi lambat karena banyaknya 'raja' yang harus dilalui sebelum melaksanakan tugas.
Para "raja" ini kebanyakan berfungsi hanya menyalurkan dan mendistribusikan perintah saja pada bawahannya, selebihnya rapat sana sini dan lobby-lobby untuk kepentingan tertentu.
Namun bukan hal yang mudah untuk merombak birokrasi apalagi dengan cara yang ekstrim. Gus Dur pernah melakukannya tahun 2001 ketika merampingkan kementerian dan dinas-dinas di daerah. Eselon 5 dihilangkan dan eselon kepala dinas dinaikkan setingkat namun jumlah dinas dikurangi.
Saya sempat melihat sendiri betapa seorang kepala dinas (waktu itu eselon 3) turun derajat menjadi kepala bidang walau eselonnya tetap sama.
Fasilitas kepala dinas hilang sehingga yang biasanya dilayani sekretaris pribadi sekarang harus mensortir surat-surat sendiri. Dulu biasa memerintah sekarang siap diperintah kepala dinas yang notabene kawan seangkatannya.
Banyak pejabat akhirnya non job dan diberikan jabatan fungsional untuk menampung mereka supaya tunjangannya tidak turun drastis. Namun kerjanya hanya absen pagi dan sore, sementara siang keluyuran atau ikut rapat sana sini demi mengumpulkan kredit recehan agar tidak turun jabatan fungsionalnya.
Kondisi ini membuat persaingan tidak sehat dan saling sikutpun terjadi antar sesama pegawai demi mengambil kembali jabatan struktural yang hilang.
Akhirnya pada era Megawati dan SBY jabatan kembali dimekarkan. Jumlah dinas kembali sepeti semula dengan eselon yang naik. Akibatnya beban anggaran bertambah karena tunjangan eselon 2 (kepala dinas sekarang) lebih besar dari eselon 3 (kepala dinas dulu).Â
Eselon 5 hidup lagi di beberapa kandep (instansi vertikal) setingkat kabupaten/kota karena beban kerjanya besar. Demikian pula jumlah kementarian disesuaikan dengan undang-undang sesuai batas maksimal, bukan optimal.
Dengan jumlah jabatan yang demikian besar, tentu bukan hal mudah bagi presiden merampingkan struktur baru yang hanya terdiri dari dua level saja. Perlawanan pasti akan timbul dari dalam seperti yang pernah terjadi pada era Gus Dur.Â
Setiap orang akan berusaha mengamankan posisinya sendiri dan malah bakal menimbulkan persaingan tidak sehat di antara sesama pegawai.Â
Proses pengisian jabatan masih menggunakan pola lama, dengan model DUK alias daftar urut kedekatan dengan menteri atau dirjen, padahal sudah ada sistem lelang jabatan yang ternyata hanya sekedar memenuhi persyaratan administrasi saja.
* * * *
Sebuah kebijakan yang revolusioner hanya akan menghasilkan dua pilihan, berhasil gemilang atau gagal sama sekali. Masih ingat dalam ingatan kebijakan rapat di kantor demi efisiensi anggaran, ternyata membuat hotel dan katering nyaris bangkrut karena selama ini lebih dari 50% pelanggannya adalah instansi pemerintah, apalagi di daerah.Â
Pengusaha hotel teriak dan kebijakan tersebut akhirnya dilonggarkan kalau tidak bisa disebut dibatalkan.
Secara pribadi saya lebih setuju jabatan fungsional kembali dihidupkan dan difungsikan sesuai dengan tugasnya. Jangan lagi jabatan fungsional hanya digunakan untuk menampung para mantan pejabat yang berseberangan dengan pimpinan tertinggi (menteri, gubernur, bupati/walikota) yang hanya menghabiskan anggaran namun hasilnya tak sesuai harapan karena mereka tak mungkin mau mengetik sendiri, turun ke lapangan seperti anak-anak muda pegawai baru.
Program perampingan eselon akan lebih baik disandingkan dengan program golden shake hand atau pensiun dini bagi mereka yang sudah berusia mendekati pensiun daripada memaksakan diri mengisi jabatan fungsional yang tidak berfungsi dengan baik.Â
Mereka yang sudah berusia tua tak mungkin lagi bekerja optimal seperti anak muda dan bersaing dengan mereka sehingga lebih efektif dipensiunkan dan diberi pesangon sebagai penghormatan atas jasa-jasanya selama ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H