Konsekuensinya, para menteri bakal lebih tunduk pada partainya ketimbang membantu presiden. Mereka akan lebih sibuk mengurusi konstituen partainya melalui kewenangan yang ada di kementeriannya daripada menaati perintah presiden.Â
Presiden mungkin juga tak berani lagi sering melakukan reshuffle karena besarnya tekanan partai, namun dampaknya kinerja kabinet akan menjadi lamban.
Beban berikutnya adalah kelanjutan mega proyek seperti kereta cepat, jalan tol trans Sumatra, dan lain sebagainya di tengah beban utang yang semakin menumpuk, sementara hasil investasi yang sudah selesai tak seperti yang diharapkan.Â
Jalan-jalan tol yang sudah jadi ternyata sepi pengguna dan hanya ramai saat lebaran dan libur panjang tiba, selebihnya kosong melompong.Â
Bandara Kertajati tak kunjung naik okupansinya walau sudah ada beberapa kebijakan yang "memaksa" penumpang untuk terbang dari bandara tersebut. Bandara Kulonprogo juga belum mampu menggantikan Adisutjipto karena letaknya yang terlalu jauh dari kota.
Hal ini tentu harus menjadi perhatian apakah mega proyek tersebut harus tetap dilanjutkan atau sebagian ditunda dulu. Pemerintah perlu mengkaji mana investasi yang menguntungkan mana yang tidak, jangan hanya karena keinginan saja.Â
Tidak semua daerah harus dibangun infrastruktur, tapi lebih penting menjaga sumber daya alamnya agar tak terjamah investor yang belum tentu ramah lingkungan.Â
Tidak semua masyarakat membutuhkan infrastruktur, tapi lebih kepada bagaimana hidup bahagia bersama alam semesta.
Beban ketiga adalah tak kunjung menyatunya masyarakat di akar rumput, walau di antara elite sudah saling "potong kue" bersama. Kasus Wiranto kemarin seolah membangunkan ular tidur, bahwa masih ada masyarakat yang belum move on dengan hasil pilpres.Â
Mereka seperti tak peduli para elitnya sudah tertawa riang, sementara grass root masih tetap harus membanting tulang di tengah merosotnya daya beli dan krisis ekonomi global yang sudah mulai terbayang di depan mata.Â