Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Maaf, Saya (Tidak) Menerima Jastip

17 Oktober 2019   12:00 Diperbarui: 17 Oktober 2019   15:51 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena jastip semakin marak seiring dengan kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi informasi berbasis internet. Semakin sulit dan ketatnya Bea Cukai saat pesan barang online dari luar negeri membuat sebagian orang memilih "menitipkan" barang yang akan dibeli kepada orang yang sedang berpergian ke luar negeri. Selain mudah dan lebih murah cara ini juga mempercepat barang sampai ketimbang harus menunggu berminggu-minggu di gudang tanpa kepastian jelas kapan barang bisa keluar.

Barang-barang yang dititipkan oleh pemesan biasanya barang yang tidak beredar atau dijual di Indonesia, barang bermerek dengan harga jauh lebih murah, atau barang langka (limited edition) yang hanya dijual di gerai tertentu di luar negeri.

Pemesan biasanya para kolektor atau orang berduit yang tidak punya waktu belanja atau jalan-jalan ke luar negeri, atau orang dengan duit pas-pasan tapi ingin tampil gaya bak sosialita, padahal ke luar negeri saja tak punya dana.

Namun jastip juga bukan berarti tanpa resiko. Jangan lupa bahwa saat tiba di bandara atau pelabuhan dari luar negeri setiap penumpang akan dicek bagasi dan barang bawaannya. Apabila ketahuan membawa barang "oleh-oleh" dengan harga lebih dari nilai yang ditentukan, kita harus membayar denda yang lumayan besar atau barang disita pihak Bea Cukai.

Belum lagi barang yang dibeli belum tentu legal beredar di Indonesia walau di negeri asalnya dibolehkan. Misalnya obat-obatan tertentu, makanan/minuman seperti minuman beralkohol dengan kadar tertentu, buku atau komik dengan konten xxx, dan sebagainya. Artinya kita harus hati-hati membawa barang titipan tersebut dan wajib mencek apakah barang tersebut halal atau haram beredar di Indonesia sebelum menerima titipan.

Bagi travellers, jastip tentu menggiurkan karena keuntungannya bisa dipakai untuk membiayai jalan-jalan ke luar negeri. Kapan lagi bisa jalan-jalan dibayarin orang tanpa harus menabung begitu lama demi menapaki tanah impian. Mumpung belum ada aturan ketat yang mengikat para jastip, tentu ini merupakan peluang yang sayang untuk disia-siakan.

Walaupun saya juga travellers yang (tidak terlalu) sering jalan-jalan ke luar negeri, namun belum tertarik untuk menerima jastip. Mengapa?

Pertama, saya bukan tipe orang yang suka belanja, walau sekedar cuci mata di mal atau pusat perbelanjaan di luar negeri. Lagipula saya tidak terlalu kepo soal merek terkenal atau trend terkini, jadi daripada takut salah beli, mending saya tolak titipan barang merek tertentu. Kalau sekadar cenderamata seperti gantungan kunci, slayer, kaos, bolehlah, tapi kalau barang-barang lain seperti parfum, hape, tas, jam tangan, barang elektronik, mohon maaf terpaksa saya tolak.

Kedua, saya termasuk tipe mobile travellers (bukan mobile dalam arti pegang smartphone lho), artinya saya cenderung berpindah tempat dengan cepat, kalau perlu satu hari bisa 2-3 kota atau bahkan negara terlampaui. Jadi saya hanya mampir ke tempat-tempat yang menjadi landmark kota atau negara tersebut. Kalau sempat mampir ke mal sekedar untuk mendinginkan badan, tapi bukan untuk cuci mata apalagi belanja. Jadi boro-boro memilih barang, melihat-lihat saja sudah tak ada waktu.

Karena mobile, maka barang bawaan harus seringkas mungkin, kalau bisa cukup dalam satu tas ransel saja. Bayangkan kalau harus membawa satu koper lagi sambil dibawa jalan-jalan, betapa lelahnya tubuh menggendong ransel plus menarik koper, mana sempat mengambil foto atau video. Belum lagi kalau harus berpindah moda transportasi, dari bus ke kereta, lalu ke pesawat terbang, tentu lebih merepotkan lagi. Jujur saya ga mau repot menenteng tas tambahan, walau bisa dititipkan di terminal, tetap saja kena charge yang juga tidak murah biayanya.

Ketiga, kecuali penerbangan jarak jauh, saya biasa menggunakan budget airlines untuk terbang lokal yang pelit bagasi. Biaya bagasi kadang-kadang lebih mahal daripada harga kursinya itu sendiri. Memang sayang juga sih kalau penerbangan jarak jauh dengan full services airlines bagasinya tak terpakai. Tapi daripada beresiko seperti saya ceritakan di atas, lebih baik cari aman saja.

Keempat, saya jalan-jalan memang niatnya ingin bersenang-senang sambil bertualang menemukan sesuatu yang baru atau unik. Jadi saya tidak mau dibebani pikiran untuk mencari dan membelikan barang titipan tersebut. Lagipula rute perjalanan bisa saja berubah di tengah jalan, tergantung situasi dan kondisi setempat. Hal inilah yang membuat saya enggan menerima jastip hingga saat ini, takutnya rute berubah jadi tidak sempat mampir.

Kelima, keamanan dalam perjalanan. Membawa ransel plus koper tentu rawan diintai orang-orang yang punya niat tak baik. Lengah sedikit koper bisa dicongkel atau malah hilang di perjalanan. Selain itu juga rawan pengintaian pihak berwajib baik saat tiba di tanah air atau bahkan saat masih dalam perjalanan di luar negeri sekalipun.

Misalnya saat melintas perbatasan antar negara, setiap tas wajib kena pemeriksaan yang tentu merepotkan karena harus membuka, mengacak-acak, dan merapikan kembali koper dan tas ransel yang dibawa.

Lagipula tampang seperti saya ini rasanya kurang pantas kalau belanja di tempat-tempat mahal seperti Ginza, bisa-bisa dicurigai satpam. Jangan-jangan belinya pakai uang hasil laundry. Jujur saya agak minder kalau harus masuk ke tempat horang kayah berbelanja, lha wong makannya saja di pinggir jalan alias street vendors setempat, itupun masih termasuk mahal kalau dibandingkan kaki lima di Jakarta.

* * * *

Bagi saya, jastip hanya cocok untuk travellers yang gemar belanja serta tidak mobile. Misalnya memang tujuannya hanya ke satu negara saja tanpa banyak berpindah kota seperti ke Jepang hanya seputaran Tokyo-Osaka saja, atau ke Singapura yang sehari saja cukup untuk berburu barang. 

Jastip tidak bisa dianggap sebagai hobi atau titipan selewat karena harus benar-benar serius survei awal untuk memastikan letak tokonya dan ketersediaan barang tersebut. Apalagi kalau harus ngantri saat peluncuran perdana suatu produk, bisa-bisa harus tidur di emperan tokonya semalaman.

Mungkin kalau sudah agak tua nanti, atau memang lagi butuh biaya jalan-jalan, saya akan terima jasa titipan barang ini. Tapi dengan syarat harganya tak melebihi batas yang ditetapkan oleh bea cukai, bukan barang terlarang di Indonesia atau negara-negara yang saya kunjungi, kardus atau box dilepas agar tidak dianggap sebagai barang yang akan dijual lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun