Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tragedi Wiranto Cermin Buruknya Kesehatan Mental Bangsa

10 Oktober 2019   23:12 Diperbarui: 11 Oktober 2019   21:14 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tragedi Wiranto (Sumber: Tribunnews.com)

Saat saya sedang menyetir mobil menuju ke Bandung sore tadi (10/10), tiba-tiba terdengar suara penyiar radio yang mengabarkan Menkopolhukam Wiranto ditusuk oleh orang tak dikenal saat kunjungan kerja di Pandeglang. 

Jujur saya sangat kaget, sepanjang ingatan pendek saya, belum ada satupun pejabat tinggi negara sejak orde baru diserang orang tak dikenal. Peristiwa serupa seperti percobaan pembunuhan presiden Soekarno sudah lama sekali terjadi dan rasanya belum pernah sekalipun terulang hingga hari ini.

Kalau boleh jujur, bangsa kita memang sedang sakit mental. Puncaknya tragedi Wiranto ini yang seolah merupakan gunung es dari ribuan persoalan penyakit mental yang sedang diidap oleh anak-anak bangsa. 

Kekerasan bahkan hingga menghilangkan nyawa seseorang sekarang kerap kali terjadi hanya karena persoalan sepele. Belum lagi cara berbicara yang sudah kelewat batas kesopanan dan kewajaran, tidak hanya dimiliki para buzzer saja tapi sudah merambah hingga anggota dewan yang terhormat.

Kesehatan mental tidak melulu mengenai kesehatan jiwa saja, tetapi juga menyangkut sikap dan perilaku manusia sehari-hari. Penyakit mental tidak hanya diderita oleh orang gila atau kurang waras saja, tetapi juga orang yang tampak waras, bahkan pintar dan cerdik pandai sekalipun. 

Sudah sering kita dengar, terakhir seorang dosen yang notabene adalah orang pandai, bisa terjebak menjadi teroris hanya karena keyakinan yang berlebihan menutupi akal sehatnya.

Penyakit mental tidak mengenal orang pintar atau bodoh, kaya atau miskin, pejabat atau rakyat jelata. Semua bisa terpapar bila sudah menyangkut fanatisme yang berlebihan terhadap apa yang diyakininya benar. 

Tak peduli apakah itu cebong atau kampret, radikal atau liberal, semua sama saja. Apapun benderanya bila sudah terpapar penyakit mental, sulit untuk disembuhkan bahkan oleh rekan-rekannya sendiri.

Orang jadi mudah terpapar hoaks yang diyakininya benar, diamplifikasi kepada teman-teman satu ideologinya, lalu sama-sama memusuhi orang yang berbeda pandangan. 

Mereka bisa bertindak semaunya sendiri, mulai dari omongan yang tidak hanya ngawur tapi sudah menjurus pada ad hominem alias pembunuhan karakter lawan bicara, hingga kekerasan fisik bahkan sampai pada (percobaan) pembunuhan seperti yang dialami Wiranto.

Revolusi mental yang dicanangkan Presiden Jokowi ketika kampanye lima tahun lalu seolah meredup perlahan. Lagu lama yang hendak dimusnahkan lambat laun kembali merebak seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, bahkan semakin terang benderang. 

OTT tidak membuat orang jadi jera, tapi malah aturannya yang dikebiri agar lagu lama tersebut tetap nangkring di posisi teratas.

Reformasi sudah berlangsung dua puluh tahun, namun sepertinya memang kita (tidak) menginginkan adanya perubahan. Aroma orde baru masih terasa sedap untuk ditinggalkan begitu saja, malah sekarang mulai kembali bersemi tanpa disadari. 

Jadi teringat kalimat "Penak jamanku to!" dengan gambar Pak Harto sedang tersenyum simpul, pertanda beliau masih dirindukan oleh (sebagian) rakyat Indonesia.

Pembangunan infrastruktur yang masif selama lima tahun terakhir ternyata tak berdampak besar bagi perubahan (kalau tak mau disebut revolusi) mental bangsa ini. 

Malah justru daerah yang lebih besar pembangunan infrastrukturnya mulai bergejolak, sebuah sinyal bahwa apa yang dibangun pemerintah kurang menyentuh akar persoalan yang sebenarnya terjadi. 

Pembangunan infrastruktur di satu sisi memang mempermudah akses sehingga diharapkan mampu mendongkrak ekonomi lokal, namun sisi lainnya justru para pengusaha kakap masuk melibas kearifan lokal sehingga membuat penduduk asli seperti tamu di kampung sendiri.

Pemerintah baru akan memulai pembangunan sumberdaya manusia pada periode kedua ini, sesuatu yang mungkin dapat dikatakan terlambat. Apalagi ternyata pembangunan SDM lebih difokuskan pada peningkatan pengetahuan, bukan memperbaiki mental masyarakatnya. 

Sudah banyak orang pintar di negeri ini, tinggal bagaimana memberdayakan mereka di tempat yang benar serta membina mental mereka agar tidak terpapar ideologi liar yang dapat merusak bangsa ini, termasuk penyakit malas dan korupsi.

Pembangunan SDM seharusnya diarahkan pada perbaikan kesehatan mental, bukan lagi menyekolahkan para sarjana atau lulusan SMA ke perguruan tinggi favorit atau ke luar negeri. 

Kecerdasan emosional perlu dikedepankan di samping kecerdasan intelektual agar masyarakat kita semakin dewasa, bisa memilah informasi yang benar atau hoaks, serta bersikap arif dan bijaksana dalam menghadapi segala persoalan. 

Perilaku malas dan korup seharusnya dilenyapkan bersamaan dengan pembangunan kesehatan mental manusia Indonesia seutuhnya.

Sudah saatnya kesehatan mental diutamakan dalam pembangunan SDM, bukan lagi meningkatkan skill atau kemampuan teknis semata. Ilmu dapat diperoleh di mana saja, apalagi sudah ada internet, tak perlu lagi belajar jauh-jauh ke luar negeri. 

Namun hal yang paling sulit adalah mendidik mental bangsa yang sudah terlanjur terpecah belah ini agar kembali bersatu menghadapi musuh bersama, krisis ekonomi yang bakal melanda dunia akibat perang dagang Tiongkok-AS beserta para sekutunya.

Jangan sampai tragedi Wiranto tepat pada hari kesehatan mental terulang kembali akibat rusaknya mental sebagian masyarakat kita. 

Jangan sampai pula pimpinan negara menjadi paranoid dengan pengawalan yang berlebihan sehingga semakin merenggangkan jarak antara masyarakat jelata dengan para elite yang sebenarnya sudah mulai cair. 

Semoga ke depan pemerintah lebih fokus pada pembenahan kesehatan mental bangsa agar terhindar dari perpecahan yang semakin melebar terutama di kalangan akar rumput.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun